Allah -Ta'ālā- berfirman, "Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu." (QS. Āli 'Imrān: 159) Allah -Ta'ālā- juga berfirman, "Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah di antara mereka." (QS. Asy-Syūrā: 38) Maksudnya, mereka bermusyawarah di antara mereka dalam urusan itu.
Istikharah ialah memohon ditunjukkan pilihan yang benar kepada Allah -'Azza wa Jalla-, sedangkan musyawarah ialah meminta diberikan pandangan yang benar kepada orang-orang yang pandai, saleh serta amanah. Apabila terjadi perkara yang mengandung keragu-raguan antara dikerjakan atau ditinggalkan, maka dianjurkan untuk melakukan istikharah dan musyawarah.
1) Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- sebagai orang yang paling lurus pandangannya dan paling banyak kebenarannya, biasa bermusyawarah bersama sahabat-sahabatnya dalam sebagian urusan, demikian juga para khalifah pengganti beliau setelahnya, dan ini adalah bentuk pembelajaran bagi umat.
2) Orang yang dimintai pendapatnya haruslah orang yang beriman, saleh dalam agamanya, dan memiliki pandangan yang lurus, pengalaman serta kehati-hatian dalam semua urusan.
1/718- Jābir bin Abdullah -raḍiyallāhu 'anhumā- menuturkan, "Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- mengajari kami beristikharah dalam segala urusan seperti mengajarkan surah dari Al-Qur`ān. Beliau bersabda, "Apabila salah seorang kalian menginginkan suatu urusan, hendaklah ia salat dua rakaat di luar salat wajib, kemudian membaca doa, 'Allāhumma innī astakhīruka bi 'ilmika, wa astaqdiruka bi qudratika, wa as`aluka min faḍlikal-aẓīm, fa innaka taqdiru wa lā aqdiru, wa ta'lamu wa lā a'lamu, wa anta 'allāmul-guyūb. Allāhumma in kunta ta'lam anna hāżal-amra khairun lī fī dīnī wa ma'āsyī wa 'āqibati amrī (Ya Allah! Sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dengan luasnya ilmu-Mu supaya diberikan pilihan yang terbaik. Dan aku memohon kepada-Mu dengan besarnya kekuasaan-Mu agar diberikan kemampuan. Aku memohon kepada-Mu sebagian dari karunia-Mu yang besar. Sesungguhnya Engkau Mahakuasa sedang aku tidak mampu, Engkau Maha Mengetahui sedang aku tidak mengetahui, dan Engkau Maha mengetahui yang gaib. Ya Allah! Jika Engkau mengetahui perkara ini lebih baik bagiku dalam agamaku, kehidupanku, dan kesudahan urusanku)". Atau beliau mengatakan: 'ājili amrī wa ājilihi, faqdurhu lī, wa yassirhu lī, ṡumma bārik lī fīhi, wa in kunta ta'lam anna hāżal-amra syarrun lī fī dīnī wa ma'āsyī wa 'āqibati amrī (Dalam urusanku yang sekarang maupun yang akan datang, maka tetapkanlah ia untukku dan mudahkanlah, kemudian berkahilah ia untukku. Jika Engkau mengetahui perkara ini buruk bagi agamaku, kehidupanku, dan kesudahan urusanku). Atau beliau mengatakan: 'ājili amrī wa ājilihi, faṣrifhu 'annī, waṣrifnī 'anhu, waqdur liyal-khaira haiṡu kāna, ṡumma raḍḍinī bihī (Dalam urusanku yang sekarang maupun yang akan datang, maka palingkanlah ia dariku dan palingkanlah aku darinya, dan tetapkanlah untukku yang lebih baik di mana pun berada, kemudian buatlah aku rida kepadanya.'" Perawi berkata, "Hendaklah dia menyebutkan kebutuhannya." (HR. Bukhari)
Istikharah yaitu meminta petunjuk kepada yang terbaik di antara dua urusan ketika dibutuhkan.
1) Anjuran melakukan istikharah dalam segala urusan yang meragukan, sekalipun sepele menurut prasangka pelakunya.
2) Perhatian Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- untuk mengajarkan sahabat-sahabatnya tentang salat ini karena mengandung manfaat yang disegerakan di dunia maupun nanti di akhirat; sehingga orang yang menjadi dai harus gigih mengajarkan manusia perkara yang bermanfaat bagi mereka.
3) Seorang hamba harus mengembalikan seluruh urusannya kepada Allah dan berlepas diri dari usaha dan kemampuannya sendiri, karena tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah, dan ini merupakan alamat kebahagiaan dan taufik bagi hamba.
Sabda Nabi ṣallallāhu 'alaihi wa sallam, "ثُمَّ لِيَقُل" (kemudian membaca doa); kata ṡumma (artinya: kemudian) adalah jenis huruf yang menunjukkan adanya urutan dan jarak, sehingga doa ini dilakukan setelah salat. Artinya, dia melaksanakan salat dua rakaat kemudian setelah itu berdoa dengan doa ini. Sebagian ulama berpendapat bahwa doa ini dilakukan sebelum salam, karena akhir salat adalah momen doa lantaran saat itu hamba sedang menghadap kepada Allah -Ta'ālā-.
Al-Ḥāfiẓ Ibnu Ḥajar Al-'Asqalāniy -raḥimahullāh- berkata dalam Fatḥul-Bārī Syarḥ Ṣaḥīḥ Al-Bukhāriy,
"Sabda Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-, "Kemudian membaca doa" adalah secara lahir menunjukkan pengakhiran doa setelah salat. Tetapi kalau dia membaca doa ini ketika salat, maka tetap ada kemungkinan boleh. Juga ada kemungkinan urutannya adalah mendahulukan masuk ke dalam salat sebelum berdoa, karena tempat doa dalam salat adalah ketika sujud atau tasyahud. Ibnu Abi Jamrah berkata, 'Hikmah didahulukannya salat sebelum doa adalah karena tujuan dari istikharah adalah terwujudnya penggabungan antara kebaikan dunia dan akhirat, sehingga butuh untuk mengetuk pintu Allah Yang Maharaja, dan tidak ada yang lebih efektif dan berguna untuk itu daripada salat karena di dalamnya terkandung pengagungan dan pujian kepada Allah serta memperlihatkan kefakiran kepada-Nya.'"