1/983- Ibnu Umar -raḍiyallāhu 'anhumā- berkata, "Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- biasa beriktikaf di sepuluh hari terakhir Ramadan." (Muttafaq 'Alaih)
2/1269- Aisyah -raḍiyallāhu 'anhā- meriwayatkan bahwa Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- biasa melakukan iktikaf di sepuluh hari terakhir bulan Ramadan hingga Allah -'Azza wa Jalla- mewafatkannya. Selanjutnya para istrinya beriktikaf sepeninggal beliau. (Muttafaq 'Alaih)
3/1270- Abu Hurairah -raḍiyallāhu 'anhu- berkata, "Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- biasa beriktikaf setiap Ramadan sebanyak sepuluh hari. Namun pada tahun beliau diwafatkan, beliau beriktikaf dua puluh hari." (HR. Bukhari)
1) Beriktikaf di bulan Ramadan dengan melakukan ketaatan kepada Allah -Ta'ālā- serta fokus beribadah adalah Sunnah Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-.
2) Anjuran untuk mencari lailatulkadar di sepuluh malam terakhir masa iktikaf karena di dalamnya terkandung keutamaan yang khusus, dan orang yang diberi taufik ialah yang memanfaatkan waktu-waktu yang utama tersebut dalam ketaatan.
3) Di antara hikmah ibadah iktikaf ialah agar hati dan badan dapat fokus untuk beribadah, jauh dari kesibukan yang memutus hubungan hamba dengan Tuhannya.
Bacaan niat yang dibaca dan ditempel oleh sebagian orang di masjid-masjid dengan lafal, "Nawaitul-i'tikāfa fī hāżal-masjidi mā dumtu fīhi"; tidak pernah disyariatkan oleh Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- untuk umatnya, baik dengan ucapan maupun perbuatannya. Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- tidak pernah bersabda kepada manusia, "Bila kalian hendak masuk masjid, maka bacalah niat iktikaf di waktu kapan pun." Karena iktikaf yang disyariatkan ialah satu hari atau satu malam, atau lebih. Dan paling diutamakan bila iktikaf dalam kondisi berpuasa. Adapun niat mutlak seperti ini, maka bukan berasal dari petunjuk yang disyariatkan.