Allah -Ta'ālā- berfirman, "(Allah) Yang melihat engkau ketika engkau berdiri (untuk salat), dan (melihat) perubahan gerakan badanmu di antara orang-orang yang sujud." (QS. Asy-Syu'arā`: 218-219) Allah -Ta'ālā- juga berfirman, "Dan Dia senantiasa bersama kamu di mana pun kamu berada." (QS. Al-Ḥadīd: 4) Allah -Ta'ālā- juga berfirman, "Bagi Allah tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi di bumi dan di langit." (QS. Āli 'Imrān: 5) Allah -Ta'ālā- juga berfirman, "Sungguh, Rabb-mu benar-benar mengawasi." (QS. Al-Fajr: 14) Allah -Ta'ālā- juga berfirman, "Dia mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang tersembunyi dalam dada." (QS. Gāfir: 19) Ayat-ayat tentang bab ini banyak nan populer.
1) Kewajiban hamba agar menanamkan sifat murāqabatullāh, yakni selalu meyakini bahwa Allah mengawasi dirinya.
2) Makna "ma'iyyatullāh (kebersamaan Allah dengan hamba)" yang Allah sematkan kepada Diri-Nya dalam Al-Qur`ānul-Karīm terbagi menjadi beberapa macam:
Pertama: bermakna menguasai seluruh makhluk baik dari segi pengetahuan, penguasaan, ataupun pengaturan terhadap mereka, sebagaimana dalam firman-Nya, "Dan Dia senantiasa bersama kamu di mana pun kamu berada." (QS. Al-Ḥadīd: 4)
Kedua: bermakna ancaman dan peringatan, sebagaimana dalam firman-Nya: "Mereka bersembunyi dari manusia, tetapi mereka tidak bersembunyi dari Allah, padahal Allah beserta mereka, ketika pada suatu malam mereka menetapkan keputusan rahasia yang tidak diridai-Nya. Dan Allah Maha Meliputi terhadap apa yang mereka kerjakan." (QS. An-Nisā`: 108)
Ketiga: bermakna pertolongan dan peneguhan hati, sebagaimana dalam firman Allah -Ta'ālā-, "Sungguh, Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan." (QS. An-Naḥl: 128) Konsekuensi dari kebersamaan Allah terhadap hamba ini adalah agar Anda selalu merasa diawasi oleh Allah serta takut kepada-Nya, lalu Anda melakukan ketaatan dan meninggalkan larangan-larangan-Nya serta membenarkan wahyu-Nya.
Adapun hadis-hadis yang berkaitan dengan bab ini, sebagai berikut:
1/60- Pertama: Hadis dari Umar bin Al-Khaṭṭāb -raḍiyallāhu 'anhu-, dia berkata, "Suatu hari ketika kami duduk bersama Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-, tiba-tiba muncul seorang laki-laki yang memakai pakaian yang sangat putih dan rambutnya hitam pekat, tidak tampak tanda-tanda bekas perjalanan padanya sementara tidak ada seorang pun di antara kami yang mengenalnya hingga dia duduk di hadapan Nabi - ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-. Lantas dia menyandarkan kedua lututnya pada kedua lutut beliau dan meletakkan kedua telapak tangannya di atas kedua pahanya seraya berkata, 'Wahai Muhammad, terangkanlah kepadaku tentang Islam!' Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- menjawab, 'Islam itu adalah engkau bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang hak (benar) selain Allah dan sesungguhnya Muhammad itu utusan Allah, mendirikan salat, membayar zakat, berpuasa di bulan Ramadan, dan menunaikan ibadah haji ke Baitullah apabila engkau mampu.' Orang itu berkata, 'Engkau benar.' Kami pun heran, ia bertanya lalu membenarkannya. Orang itu berkata lagi, 'Terangkanlah kepadaku tentang iman!' Beliau menjawab, 'Engkau beriman kepada Allah, kepada malaikat-malaikat-Nya, kepada kitab-kitab-Nya, kepada rasul-rasul-Nya, kepada hari Akhir, dan engkau beriman kepada takdir yang baik dan yang buruk.' Orang itu berkata, 'Engkau benar. Terangkanlah kepadaku tentang ihsan!' Beliau bersabda, 'Engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu.' Orang itu berkata lagi, 'Beritahukan kepadaku tentang waktu hari Kiamat!' Beliau menjawab, 'Orang yang ditanya tidaklah lebih tahu daripada yang bertanya.' Orang itu berkata, 'Terangkan tentang tanda-tandanya!' Beliau menjawab, 'Yaitu ketika budak perempuan telah melahirkan tuannya, ketika engkau melihat orang-orang yang tak beralas kaki, tanpa mengenakan pakaian, sangat miskin, dan pekerjaannya menggembalakan kambing, mereka berlomba-lomba mendirikan bangunan yang megah.' Lantas orang itu pergi dan aku diam sekian lama. Kemudian beliau berkata, 'Wahai Umar, tahukah engkau siapakah yang bertanya tadi?' Aku menjawab, 'Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.' Beliau bersabda, 'Dia adalah Jibril yang datang kepada kalian untuk mengajarkan agama kalian.'" (HR. Muslim)
Makna "budak perempuan melahirkan tuannya" yaitu akan banyak tawanan perempuan, sehingga tawanan yang dijadikan budak melahirkan anak perempuan bagi tuannya, sedangkan anak tuan sama kedudukannya dengan sang tuan. Ada juga sebagian ulama yang berpendapat selain ini. (الْعَالَةُ: al-'ālah) artinya orang-orang miskin. Perkataan Umar (مَلِياً: maliyyan) artinya jarak waktu yang panjang, yaitu tiga hari.
رِعَاءَ الشَّاءِ (ri'ā` asy-syā`i): para penggembala kambing.
1) Syahadat tauhid (لا إله إلا الله محمد رسول الله) merupakan rukun Islam paling besar, bahkan di atasnyalah keislaman seseorang tegak.
2) Kewajiban penuntut ilmu ketika duduk bersama orang yang berilmu (ulama) dalam sebuah majelis agar bertanya masalah-masalah yang penting bagi orang-orang yang hadir, sekalipun dia sendiri telah mengetahui hukumnya, tujuannya untuk berbagi ilmu dengan orang-orang yang hadir, dan dengan itu dia telah menjadi pengajar bagi mereka.
3) Seorang hamba hendaknya menghadirkan rasa kedekatan Allah -'Azza wa Jalla- dari dirinya, bahwa Allah mengawasinya; mengetahui segala yang ia tampakkan dan yang ia sembunyikan, sebab hal itu akan melahirkan rasa takut dan pengagungan kepada Allah dalam hatinya serta melahirkan ketulusan dalam ibadah dan usaha kuat untuk memperbaiki dan menyempurnakannya.
4) Indahnya adab para sahabat kepada Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-; yaitu ketika mereka mengembalikan wewenang keilmuan kepada Allah -Ta'ālā- dan kepada Rasul-Nya -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- pada masa hidup beliau.
5) Sunnah Nabi adalah wahyu yang diturunkan dari Allah, sehingga tidak boleh dianggap rendah kedudukannya dalam penetapan syariat; karena kita diperintahkan untuk mengikuti kedua wahyu; Al-Qur`ān dan Sunnah.
2/61- Kedua: Hadis dari Abu Żarr Jundub bin Junādah dan Abu Abdirrahman Mu'āż bin Jabal -raḍiyallāhu 'anhumā-, mereka meriwayatkan dari Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bahwa beliau bersabda, "Bertakwalah kepada Allah di mana saja engkau berada, ikutilah keburukan itu dengan kebaikan, niscaya ia akan menghapus keburukan itu, dan perlakukanlah manusia dengan akhlak yang baik." (HR. Tirmizi dan dia berkata, "Hadisnya hasan")
1) Senantiasa bertakwa kepada Allah -'Azza wa Jalla- merupakan buah dari sifat murāqabatullāh di semua perkataan dan perbuatan, yang sir dan yang tampak.
2) Kebaikan akan menghapus keburukan, dan ini termasuk rahmat Allah -Ta'ālā- kepada hamba-Nya.
3) Besarnya kedudukan akhlak baik; yaitu merupakan jalan keberuntungan di dunia dan akhirat, sehingga orang beriman harus berusaha kuat untuk memperbaiki akhlaknya.
3/62- Ketiga: Hadis dari Ibnu 'Abbās -raḍiyallāhu 'anhumā-, dia berkata, Suatu hari aku dibonceng di belakang Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- lalu beliau bersabda, "Wahai Ananda! Aku akan mengajarimu beberapa kalimat: Peliharalah (agama) Allah, niscaya Allah akan memeliharamu. Peliharalah (agama) Allah, niscaya engkau akan mendapatkan-Nya di hadapanmu. Bila engkau minta, mintalah kepada Allah. Bila memohon pertolongan, mohonlah kepada Allah. Ketahuilah, sekiranya umat ini bersepakat untuk memberi suatu manfaat kepadamu, mereka tidak akan bisa memberimu manfaat sedikitpun kecuali sesuatu yang telah Allah tuliskan bagimu. Dan bila mereka bersepakat untuk mencelakaimu dengan sesuatu, mereka tidak akan mencelakaimu kecuali dengan yang telah Allah tuliskan atasmu. Pena takdir telah diangkat, dan lembaran-lembaran takdir telah kering." (HR. Tirmidzi dan dia berkata, "Hadisnya hasan sahih")
Dalam riwayat selain Tirmizi disebutkan: "Peliharalah (agama) Allah, niscaya engkau akan mendapatkan-Nya di hadapanmu. Beribadahlah kepada Allah ketika lapang, niscaya Allah akan mengenalmu ketika sulit. Ketahuilah, apa yang Allah tidak takdirkan kepadamu maka dia tidak akan menimpamu. Dan apa yang telah ditetapkan menimpamu maka tidak akan meleset darimu. Ketahuilah, kemenangan bersama kesabaran, pertolongan bersama kesusahan, dan kemudahan bersama kesulitan."
احْفَظِ اللهَ (iḥfażillāh): peliharalah agama Allah dengan senantiasa bertakwa kepada-Nya, juga dengan memelihara batasan dan hak-hak Allah serta memelihara hak manusia.
رُفِعَتِ الأقْلامُ، وَجَفَّتِ الصُّحُفُ (rufi'atil-aqlām wa jaffatiṣ-ṣuḥuf): pena (takdir) ditinggalkan atau tidak lagi digunakan menulis karena perkaranya telah selesai, yaitu penulisan takdir seluruhnya telah berlalu.
1) Diharamkan meminta kepada selain Allah -Ta'ālā- dalam perkara yang tidak mampu dilakukan kecuali oleh Allah, seperti memberi rezeki, kesembuhan, ampunan, kemenangan, dan lainnya. Maka orang yang beriman hendaknya berupaya kuat untuk memperbaiki tauhidnya kepada Allah -Ta'ālā- dengan tidak berdoa kepada selain-Nya.
2) Mengetahui kelemahan seluruh makhluk serta kebergantungan mereka kepada Allah -Ta'ālā- akan mendorong hamba untuk bergantung kepada Allah saja, tidak ada sekutu bagi-Nya, serta akan memutus kebergantungannya kepada makhluk.
3) Manusia tidak mampu mendatangkan manfaat untuk dirinya, juga tidak mampu mengusir keburukan, kecuali dengan izin Allah -Ta'ālā-. Hal ini mengharuskan hamba untuk menauhidkan Allah -Ta'ālā- serta memohon pertolongan kepada-Nya; tidak menggantungkan hati kepada salah satu makhluk, seperti apa pun tinggi kedudukannya atau besar pengaruhnya, karena dia lemah sama seperti dirinya serta butuh kepada Allah -Ta'ālā-.
4) Murāqabatullāh dan memelihara batasan-batasan-Nya ketika sendiri maupun di hadapan umum akan melahirkan penjagaan dari Allah terhadap pelakunya. Karena balasan sejenis dengan perbuatan.
4/63- Keempat: Hadis dari Anas -raḍiyallāhu 'anhu-, dia berkata, "Sungguh, kalian benar-benar akan mengerjakan perbuatan-perbuatan yang lebih tipis (kecil) dari rambut dalam pandangan kalian, sedangkan kami pada masa Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- memasukkannya ke dalam dosa-dosa besar yang membinasakan." (HR. Bukhari, dan dia berkata, "الْمُوبِقَاتُ -al-mūbiqāt- artinya yang membinasakan")
5/64- Kelima: Hadis dari Abu Hurairah -raḍiyallāhu 'anhu-, bahwa Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda, "Sesungguhnya Allah -Ta'ālā- itu cemburu dan kecemburuan Allah -Ta'ālā- itu terjadi jika seseorang melakukan apa yang diharamkan oleh Allah kepadanya." (Muttafaq 'Alaih)
الْغَيْرَةُ (al-gairah) -dengan memfatahkan huruf "'ain"-, makna aslinya: tidak bersahabat.
1) Sikap meremehkan dosa menunjukkan minimnya rasa takut hamba kepada Allah -Ta'ālā-; sebaliknya, menganggap besar dosa menunjukkan sempurnanya rasa takut tersebut serta besarnya rasa murāqabatullāh.
2) Seorang hamba wajib menjauhi maksiat karena merupakan sebab kemurkaan Allah -Subḥānahu wa Ta'ālā-.
3) Rasa murāqabah hamba serta kehati-hatiannya dari berbuat maksiat merupakan bentuk iman yang sempurna.
Dalam hadis Anas terdapat bukti pengagungan para sahabat -raḍiyallāhu 'anhum- terhadap apa-apa yang Allah haramkan serta rasa takut mereka kepada dosa. Ini menunjukkan mereka adalah manusia yang paling berilmu tentang Allah -Ta'ālā-, paling warak, dan paling takut kepada Allah setelah para nabi. Maka wajib bagi setiap hamba untuk meneladani mereka serta meyakini bahwa pemahaman mereka terhadap Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- adalah yang paling benar, karena jalan mereka itulah jalannya orang-orang beriman. Siapa yang berjalan di atas jalan mereka akan selamat; tetapi siapa yang menyimpang dari jalan mereka akan binasa dan membinasakan.
6/65- Keenam: Hadis dari Abu Hurairah -raḍiyallāhu 'anhu-, bahwa dia mendengar Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda, "Ada tiga orang dari Bani Israil; yaitu yang kusta, botak, dan buta. Allah hendak menguji mereka, lalu mengutus seorang malaikat. Malaikat itu datang kepada yang kusta dan bertanya, 'Apa yang paling kamu inginkan?' Dia menjawab, 'Warna kulit yang bagus, kulit yang bagus, dan penyakit (kusta) yang menyebabkan orang menjauhiku lenyap dariku.' Malaikat tersebut lalu mengusapnya, dan segera penyakitnya lenyap serta diberikan warna kulit yang bagus. Malaikat bertanya lagi, 'Harta apa yang paling kamu sukai?' Dia menjawab, 'Unta -atau dia berkata, sapi-.' Perawinya ragu. Maka dia diberi unta yang bunting. Malaikat berkata, 'Semoga Allah memberi keberkahan bagimu padanya.' Lalu malaikat itu datang kepada yang botak dan bertanya, 'Apa yang paling kamu inginkan?' Dia menjawab, 'Rambut yang bagus dan penyakit yang menyebabkan orang menjauhiku lenyap dariku.' Malaikat tersebut mengusapnya, dan segera penyakitnya lenyap serta diberikan rambut yang bagus. Malaikat bertanya lagi, 'Harta apa yang paling kamu sukai?' Dia menjawab, 'Sapi.' Maka dia diberi sapi yang bunting. Malaikat berkata, 'Semoga Allah memberi keberkahan bagimu padanya.'
Lalu malaikat itu datang kepada yang buta dan bertanya, 'Apa yang paling kamu sukai?' Dia menjawab, 'Agar Allah mengembalikan penglihatanku sehingga aku bisa melihat orang.' Malaikat tersebut mengusapnya dan segera Allah mengembalikan penglihatannya. Malaikat itu bertanya lagi, 'Harta apa yang paling kamu sukai?' Dia menjawab, 'Kambing.' Maka dia diberi kambing yang bunting.' Kemudian masing-masing mereka mengembangbiakkan. Hingga yang pertama memiliki satu lembah unta, yang kedua satu lembah sapi, dan yang ketiga satu lembah kambing.
Kemudian malaikat itu datang kepada laki-laki yang dulu menderita kusta dalam rupa dan penampilannya dahulu seraya berkata, 'Aku orang miskin. Aku telah kehabisan bekal dalam perjalanan. Tidak ada yang dapat menolongku hari ini kecuali Allah kemudian dirimu. Dengan nama Allah yang telah memberimu warna kulit yang bagus, kulit yang bagus, dan harta, aku minta kepadamu seekor unta sebagai bekalku dalam perjalanan.' Dia menjawab, 'Ada banyak hak (yang mesti kutunaikan).' Malaikat itu berkata, 'Sepertinya aku mengenalmu. Bukankah kamu dahulu menderita kusta, dijauhi oleh manusia, juga kamu sangat miskin, lalu Allah memberikanmu karunia?' Dia menjawab, 'Sesungguhnya harta ini aku warisi dari harta warisan yang turun temurun .' Malaikat itu berkata, 'Bila kamu berdusta, semoga Allah mengembalikanmu kepada keadaanmu semula.'
Lalu malaikat itu datang kepada laki-laki yang dulunya botak dalam rupa dan keadaannya dahulu dan mengucapkan apa yang dia ucapkan kepada laki-laki yang pertama, dan dia memberinya jawaban seperti jawaban laki-laki yang pertama. Malaikat itu berkata, 'Bila kamu berdusta, semoga Allah mengembalikanmu kepada keadaanmu semula.'
Kemudian malaikat itu datang kepada laki-laki yang dulunya buta dalam rupa dan keadaannya dahulu seraya berkata, 'Aku orang miskin dan ibnu sabīl. Aku kehabisan bekal dalam perjalanan. Tidak ada yang dapat menolongku hari ini kecuali Allah kemudian dirimu. Dengan nama Allah yang telah mengembalikan penglihatanmu, aku minta kepadamu seekor kambing sebagai bekalku dalam perjalanan.' Dia menjawab, 'Dahulu aku buta. Kemudian Allah mengembalikan penglihatanku. Ambillah sesukamu, dan tinggalkan sesukamu. Demi Allah, aku tidak akan menyulitkanmu dengan sesuatu yang kamu ambil, karena Allah -'Azza wa Jalla-.' Maka malaikat itu berkata, 'Tahanlah hartamu. Sesungguhnya kalian telah diuji. Allah telah rida kepadamu dan murka kepada kedua rekanmu.'" (Muttafaq 'Alaih)
النَّاقَةُ الْعُشَرَاءُ (an-nāqah al-'usyarā`) -dengan mendamahkan "'ain" dan memfatahkan "syīn" disertai mad-: unta yang bunting. Kata: (أنْتَجَ: antaja), di sebagian riwayat: (فَنَتَجَ: fa nataja), maksudnya: mengurus kelahirannya. Istilah nātij (bidan hewan) pada unta seperti istilah qābilah (bidan) pada perempuan. Kalimat "ولَّدَ هذا" (wallada hāża), maksudnya: mengurus kelahirannya. Ia semakna dengan kata (نتَجَ: nataja) pada unta. Istilah muwallid, nātij, dan qābilah memiliki makna yang sama (yaitu bidan). Bedanya, muwallid untuk hewan sedangkan yang dua lainnya untuk yang lain. Kalimat الحِبَالُ (al-ḥibāl): sebab/sarana. Kalimat لا أجْهَدُكَ (lā ajhaduka), maksudnya: aku tidak memberatkanmu untuk mengembalikan apa yang engkau ambil atau yang engkau minta dari hartaku. Dalam riwayat Bukhari: لا أحْمَدُكَ (lā aḥmaduka); maksudnya aku tidak menyanjungmu karena meninggalkan sesuatu yang engkau butuhkan. Sebagaimana ungkapan mereka: لَيْسَ علىٰ طُولِ الحياةِ نَدَمٌ (laisa 'alā ṭūlil-ḥayāh nadamun); maksudnya tidak ada sesal pada hilangnya kehdupan yang panjang.
1) Mensyukuri nikmat yang Allah berikan kepada hamba termasuk sebab kelanggengan dan penambahannya.
2) Keutamaan sedekah dan anjuran berbuat baik kepada orang-orang yang lemah, memuliakan mereka, dan memenuhi hajat mereka.
3) Bila keberkahan hadir pada sesuatu maka yang sedikit menjadi banyak, dan bila hilang maka yang banyak menjadi sedikit.
4) Mengingat besarnya nikmat Allah kepada hamba terkait indranya dan pemenuhan kebutuhannya akan mendorongnya menggunakan nikmat tersebut pada ketaatan dan ibadah kepada Allah, sehingga dia tidak mengabdikannya untuk siapa pun selain Allah -Ta'ālā- serta tidak menggunakannya kecuali pada sesuatu yang mendatangkan rida Allah -'Azza wa Jalla-, karena Allahlah yang memberikannya karunia di dunia dan akhirat.
5) Di antara bentuk kemudahan (taufik) dari Allah kepada hamba adalah Allah memudahkan baginya melakukan amal saleh, membantunya untuk merealisasikan amalan tersebut, kemudian diberi pahala. Hamba selalu butuh kepada pertolongan Allah -Ta'ālā- sebelum melakukan ketaatan, ketika melakukannya, dan setelah menunaikannya.
7/66ــ- Ketujuh: Hadis dari Abu Ya'lā Syaddād bin Aus -raḍiyallāhu 'anhu-, ia meriwayatkan dari Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-, bahwa beliau bersabda, "Orang yang cerdas adalah yang mampu menundukkan nafsunya dan beramal untuk menghadapi apa yang akan terjadi setelah kematian. Dan orang yang lemah adalah yang memperturutkan hawa nafsunya dan hanya berangan-angan kepada Allah." (HR. Tirmidzi dan dia berkata, "Hadisnya hasan") [3].
Tirmidzi dan ulama lainnya mengatakan, "Makna (دَانَ نَفْسَه: dāna nafsahu): mengintrospeksi dirinya.
الكَيِّس (al-kayyis): orang yang cerdas nan kuat.
دانَ (dāna): mengintrospeksi.
1) Anjuran untuk memanfaatkan kesempatan pada sesuatu yang mendatangkan rida Allah -'Azza wa Jalla-.
2) Kewajiban mempersiapkan diri untuk kehidupan setelah kematian dengan amal saleh.
3) Malas, lalai, dan angan-angan kosong termasuk sebab hilangnya kesempatan beramal saleh di dunia.
8//67- Kedelapan: Hadis dari Abu Hurairah -raḍiyallāhu 'anhu-, dia berkata, Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda, "Di antara tanda baiknya keislaman seseorang adalah ia meninggalkan apa yang tidak penting bagi dirinya." (Hadis hasan riwayat Tirmizi dan lainnya)
9/68- Kesembilan: Hadis dari Umar -raḍiyallāhu 'anhu-, bahwa Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda, "Seorang suami tidak ditanyai apa penyebab dia memukul istrinya." (HR. Abu Daud dan lainnya) [4]
1) Hamba wajib menyibukkan diri dengan sesuatu yang memiliki maslahat dan manfaat dalam urusan dunia dan akhirat serta meninggalkan perkara lainnya yang tidak dibutuhkan, bahkan membahayakan dan menyakitinya. Ini termasuk tanda bagusnya keislaman seseorang.
2) Orang beriman wajib untuk introspeksi diri dalam tindak-tanduk, ucapan, dan perbuatannya serta menanamkan dalam diri bahwa Allah mengawasinya dan mengetahui rahasianya, lalu berusaha kuat agar tidak dilihat oleh Allah kecuali pada kondisi yang mendatangkan rida-Nya.
Penulis -raḥimahullāh- menyebutkan hadis yang terakhir setelah hadis Abu Hurairah -raḍiyallāhu 'anhu- untuk memberi contoh perkara yang tidak penting bagi seseorang. Yakni bahwa di antara tanda bagusnya keislaman seorang hamba adalah dia tidak ikut campur dalam urusan antara seseorang dan istrinya, karena hal itu tidak penting baginya.