Allah -Ta'ālā- berfirman, "Sungguh, Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya." (QS. An-Nisā`: 58) Allah -Ta'ālā- juga berfirman, "Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, tetapi semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir tidak akan melaksanakannya (berat), lalu dipikullah amanat itu oleh manusia. Sungguh, manusia itu amat zalim dan sangat bodoh." (QS. Al-Aḥzāb: 72)
- Amanah terbagi dua:
1) Amanah dalam hak-hak Allah; misalnya ibadah-ibadah kepada Allah -'Azza wa Jalla-, terutama tauhid, salat, dan lainnya.
2) Amanah dalam hak-hak manusia; misalnya berbakti kepada kedua orang tua, silaturahmi, mendidik anak, dan lainnya.
1/199- Abu Hurairah -raḍiyallāhu 'anhu- meriwayatkan bahwa Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda, "Tanda orang munafik ada tiga; apabila berbicara ia berdusta, apabila berjanji ia menyelisihi, dan apabila diberi amanah ia berkhianat." (Muttafaq 'Alaih)
Dalam riwayat lain: "... sekalipun dia puasa dan salat dan meyakini dirinya muslim."
آيَةٌ (āyah): tanda
أخَلَفَ (akhlafa): tidak menunaikan janji
1) Pemberitaan Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- terhadap hadis ini mengandung dua hal: mengenal orang munafikin dan sifat mereka serta peringatan agar tidak jatuh ke dalam sifat-sifat ini. Sehingga hadis ini adalah berita sekaligus sebagai arahan.
2) Jujur dalam ucapan, memenuhi janji, dan menunaikan amanah merupakan sifat orang beriman, dan merupakan perkara yang wajib.
3) Orang muslim itu perbuatannya sesuai ucapannya: "Sangatlah dibenci di sisi Allah jika kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan." (QS. Aṣ-Ṣaff: 3)
2/200- Ḥużaifah bin Al-Yamān -raḍiyallāhu 'anhu- meriwayatkan, Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- telah menyampaikan dua peristiwa kepada kami; salah satunya telah kulihat dan aku masih menunggu yang lain. Beliau mengabarkan bahwa amanah turun ke lubuk hati orang-orang, kemudian Al-Qur`ān turun sehingga mereka mengetahuinya dari Al-Qur`ān, dan juga dari Sunnah. Kemudian beliau mengabarkan tentang diangkatnya amanah. Beliau bersabda, "Seseorang tidur sekali, lalu sifat amanah dicabut dari hatinya hingga jejaknya tinggal sedikit seperti titik. Kemudian ia tidur sekali lagi, lalu sifat amanah dicabut dari hatinya hingga jejaknya menjadi seperti bekas lepuhan, seperti bara api yang engkau gelindingkan di atas kakimu maka timbullah lepuhan; engkau melihatnya kembung tetapi tidak berisi apa pun." Kemudian beliau mengambil kerikil dan menggelindingkannya di atas kakinya. "Lalu orang-orang melakukan jual beli tetapi hampir tidak ada seorang pun yang menunaikan amanah. Sehingga dikatakan di bani polan ada seorang yang amanah. Dikatakan kepada orang itu, 'Alangkah sabarnya, alangkah beruntungnya, alangkah cerdiknya!' Padahal di dalam hatinya tidak terdapat keimanan walau seberat biji sawi. Telah datang kepadaku sebuah zaman di mana aku tidak peduli berjual beli dengan siapa di antara kalian. Bila dia seorang muslim, maka agamanya akan mencegahnya. Bila dia seorang nasrani atau yahudi, maka dia akan dicegah oleh penguasanya. Adapun hari ini, aku tidak berjual beli kecuali dengan si polan dan polan di antara kalian." (Muttafaq ‘Alaih)
Ucapan Nabi: "جَذْرُ" (jażrun), dengan memfatahkan huruf "jīm", dan mensukunkan "żāl", artinya: pokok sesuatu. الْوَكْتُ (al-waktu), dengan huruf "tā`", artinya: sedikit bekas. Sedangkan "الْمَجْلُ" (al-majlu), dengan memfatahkan "mīm" dan mensukunkan "jīm", yaitu lepuhan pada tangan atau lainnya akibat bekerja dan semisalnya. Perkataan Ḥużaifah: "مُنْتَبِراً" (muntabiran), artinya kembung. سَاعِيهِ (sā'īhi): penguasanya.
1) Akhlak dalam Islam lebih dalam dan tinggi dari definisi kemanusiaan di masa sekarang, karena akhlak menembus perkara lahiriah yang dapat dilihat kepada perbuatan hati dan rahasia jiwa.
2) Akhlak Islam lahir dari Al-Qur`ān dan Sunnah karena keduanya mengandung akhlak dan pendidikan sempurna.
3) Akhlak dapat dirubah, kalau tidak maka pendidikan tidak ada gunanya.
4) Akhlak dan iman adalah dua hal yang bergandengan; bila salah satunya hilang maka yang lain juga hilang.
5) Di antara tanda kiamat; hilangnya amanah, sehingga orang yang amanah dianggap pengkhianat dan pengkhianat dianggap orang yang amanah.
3/201- Ḥużaifah dan Abu Hurairah -raḍiyallāhu 'anhumā- meriwayatkan, Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda, "Allah -Tabāraka wa Ta'ālā- kelak akan mengumpulkan manusia, kemudian orang-orang mukmin berdiri hingga surga didekatkan kepada mereka. Lantas mereka mendatangi Adam -ṣalawātullāh 'alaihi- seraya berkata, 'Wahai bapak kami! Mintakanlah agar surga ini dibukakan untuk kami.' Beliau menjawab, 'Bukankah yang mengeluarkan kalian dari surga adalah dosa bapak kalian? Aku tidak pantas memintakan hal ini untuk kalian. Pergilah ke tempat anakku, Ibrahim Khalīlullāh.' Lantas mereka mendatangi Ibrahim. Ibrahim berkata, 'Aku tidak pantas memintakan hal ini untuk kalian. Aku hanyalah khalīlullāh yang berada di belakang sekali. Pergilah kepada Musa yang diajak bicara langsung oleh Allah.' Mereka akhirnya mendatangi Musa. Musa berkata, 'Aku tidak pantas memintakan hal ini untuk kalian. Pergilah kepada Isa; kalimat dan ruh Allah.' Isa berkata, 'Aku tidak pantas memintakan hal ini untuk kalian.' Selanjutnya mereka mendatangi Muhammad -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-. Maka beliau berdiri dan diizinkan untuk membukanya. Kemudian amanah dan kasih sayang diutus, dan keduanya berdiri di kedua sisi jembatan (sirat); sisi kanan dan kiri. Orang pertama dari kalian melintasinya secepat kilat." Aku bertanya, "Bapak dan ibuku sebagai tebusan engkau, seperti apa secepat kilat itu?" Beliau menjawab, "Tidakkah kalian melihat bagaimana kilat datang dan pergi hanya dalam sekejap mata? Lalu ada yang melewatinya secepat angin, lalu secepat burung dan bagaikan orang yang berlari kencang. Semua itu tergantung amal mereka. Sementara itu Nabi kalian berdiri di atas jembatan sambil berdoa, 'Wahai Rabb-ku! Selamatkanlah. Selamatkanlah.' Sampai pada giliran orang-orang yang amal baiknya sedikit, hingga datang seseorang yang tidak bisa berjalan melainkan dengan merangkak. Di kedua sisi jembatan tergantung alat-alat pengait dari besi yang diperintahkan untuk mengambil orang-orang yang harus diambilnya. Di antara mereka ada yang terluka tetapi selamat, dan ada pula yang tercabik-cabik lalu dilemparkan ke dalam neraka.'" Abu Hurairah berkata, "Demi Zat yang jiwa Abu Hurairah berada di tangan-Nya! Sesungguhnya dasar neraka Jahanam itu sejauh perjalanan tujuh puluh tahun." (HR. Muslim
Ucapan Ibrahim: "وَرَاءَ وَرَاءَ" (warā`a warā`a), dengan memfatahkan "hamzah" pada keduanya, ada yang berpendapat dengan damah tanpa tanwin (warā`u warā`u), maknanya: aku tidaklah setinggi tingkatan itu. Ini adalah ungkapan yang disebutkan sebagai bentuk tawaduk. Adapun maknanya maka telah aku paparkan secara luas dalam Syarah Ṣaḥīḥ Muslim. Wallāhu a'lam.
تُزْلَفَ (tuzlafu): didekatkan
شَدُّ الرِّجَالِ (syaddur-rijāl): lari kencang.
تَعْجِزَ أَعْمَالُ الْعِبَادِ: amal saleh mereka tidak kuat membawa mereka berjalan.
كَلَالِيْب (kalālīb), bentuk jamak dari "كَلُّوب" (kallūb), artinya: kayu yang di ujungnya dipasang pengait dari besi.
مُكَرْدَسٌ (mukardas): sesuatu ditumpuk sebagian di atas yang lain.
مَخْدُوْشٌ (makhdūsy): terluka dan tercabik.
الخَرِيْفُ (al-kharīf): tahun.
1) Surga tidak dibuka kecuali setelah diminta oleh Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- sebagai pemberi syafaat.
2) Ketawadukan para nabi -'alaihimuṣ-ṣalātu was-salām-; masing-masing mengalihkan perkara itu kepada yang lain.
3) Mengagungkan kedudukan amanah dan rahim; keduanya akan berdiri di kedua sisi sirat.
4) Kondisi seorang hamba ketika melewati sirat sesuai dengan amal salehnya. Sebab itu, hendaklah seseorang mengusahakan amal saleh yang akan membawanya berjalan di atas sirat secara mudah.
4/202- Abu Khubaib -dengan "khā`" yang berharakat damah- Abdullah bin Az-Zubair -raḍiyallāhu 'anhumā- menceritakan, "Ketika Az-Zubair berdiri (menghadapi musuh) pada perang Jamal, ia memanggilku. Aku pun berdiri di sampingnya. Dia berkata, 'Wahai anakku! Sungguh, tidaklah terbunuh pada hari ini melainkan orang yang zalim atau dizalimi. Aku melihat bahwa aku akan terbunuh pada hari ini sebagai orang yang dizalimi. Sesungguhnya beban terbesar yang membuatku gusar adalah utangku. Apakah menurutmu utang kita (bila terlunasi) masih menyisakan sebagian dari harta kita?' Lalu ia berkata, 'Wahai anakku! Jual sajalah harta kita (yang tersisa) dan lunasilah utangku!' Az-Zubair mewasiatkan sepertiga hartanya dan sepertiga dari sepertiga (sepersembilan) untuk anak-anaknya, yaitu anak-anak Abdullah bin Az-Zubair. Ia berkata, 'Jika ada kelebihan harta kita setelah pelunasan utang, maka sepertiganya untuk anak-anakmu.' Hisyām menyatakan bahwa saat itu beberapa orang anak Abdullah sepadan usianya dengan sebagian anak-anak Az-Zubair; yaitu Khubaib dan 'Abbād. Ketika itu, Az-Zubair memiliki sembilan orang putra dan sembilan putri." Abdullah berkata, "Selanjutnya Az-Zubair mewasiatkan kepadaku perihal utangnya dan berkata, 'Wahai anakku, jika ada dari utang itu tidak engkau mampu lunasi, mintalah pertolongan kepada penolongku!'" Abdullah berkata, "Demi Allah, aku sama sekali tidak mengerti apa maksudnya, hingga aku bertanya, 'Wahai ayahanda! Siapakah penolongmu itu?' Dia menjawab, 'Allah.'" Abdullah berkata, "Demi Allah! Tidaklah setiap kali aku mengalami kesulitan untuk melunasi utangnya melainkan aku berkata, 'Wahai Penolong Az-Zubair! Lunasilah utangnya.' Maka Allah pun melunasinya." Abdullah berkata, "Maka Az-Zubair pun terbunuh. Dan dia tidak meninggalkan sekeping dinar ataupun dirham kecuali beberapa bidang tanah, di antaranya tanah hutan (di Awālī kota Madinah), 11 buah rumah di Madinah, 2 buah rumah di Baṣrah, 1 buah rumah di Kufah, dan 1 buah rumah di Mesir." Abdullah berkata, "Sebenarnya, sebab utang Az-Zubair ialah ketika ada seseorang datang membawa harta guna menitipkannya, maka Az-Zubair berkata, 'Jangan dititipkan. Tetapi jadikanlah sebagai pinjaman. Sesungguhnya aku khawatir kalau harta itu hilang.' Sama sekali Az-Zubair tidak pernah memegang jabatan negara, amil zakat, pekerja kharāj (cukai tanah), dan lainnya. Dia hanya berperang bersama Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-, Abu Bakar, Umar, dan Usman -raḍiyallāhu 'anhum-." Abdullah berkata, "Lantas aku menghitung utangnya. Ternyata aku dapatkan utang itu sebanyak dua juta dua ratus ribu (dirham)! Ḥakīm bin Ḥizām lalu menemuiku dan berkata, 'Wahai anak saudaraku! Berapa utang tanggungan saudaraku?' Aku menyembunyikan jumlah sebenarnya dan berkata, 'Seratus ribu.' Ḥakīm berkata, 'Demi Allah! Aku lihat harta kalian tidak akan cukup untuk melunasi utang itu.' Abdullah berkata, 'Kalau begitu, bagaimana pendapatmu jika utangnya yang sebenarnya adalah dua juta dua ratus ribu?' Hakīm menjawab, 'Aku kira kalian tidak akan mampu melunasi utang itu. Jika kalian merasa tidak mampu untuk melunasi utang itu, silakan menghubungiku!' Abdullah berkata, "Az-Zubair pernah membeli tanah hutan itu seharga seratus tujuh puluh ribu." Lantas Abdullah menjual tanah itu seharga satu juta enam ratus ribu. Dia berdiri dan berkata, "Siapa yang pernah mengutangi Az-Zubair, agar dia mengambil uangnya dalam bentuk tanah hutan itu." Kemudian datanglah Abdullah bin Ja'far. Dia pernah memberi utang kepada Az-Zubair sebanyak empat ratus ribu. Ia berkata kepada Abdullah, "Jika engkau mau, utang itu aku bebaskan untuk kalian?" Abdullah berkata, "Tidak." Abdullah bin Ja'far berkata, "Sekiranya kalian mau, pelunasannya bisa diakhirkan." Abdullah bin Az-Zubair menjawab, "Tidak." Abdullah bin Ja'far berkata, "Kalau begitu, tentukanlah bagian tanahku." Abdullah bin Az-Zubair berkata, "Bagianmu dari batas ini sampai ke batas itu." Abdullah bin Az-Zubair lalu menjual sebagian tanah itu dan ia pun melunasi semua utang ayahnya. Tersisa dari tanah itu empat setengah kaveling. Lalu dia datang ke Muawiyah dan ketika itu di dekatnya ada 'Amr bin Uṡmān, Munżir bin Az-Zubair, dan Ibnu Zam'ah. Muawiyah bertanya, "Berapa engkau hargai tanah itu?" Abdullah menjawab, "Tiap satu bagian seharga seratus ribu." Ia bertanya pula, "Kini tinggal berapa bagian?" Ia menjawab, "Empat setengah bagian." Al-Munżir bin Az-Zubair berkata, "Aku ambil satu bagian seharga seratus ribu." 'Amr bin Uṡmān berkata, "Aku ambil satu bagian seharga seratus ribu." Ibnu Zam'ah berkata, "Aku ambil satu bagian seharga seratus ribu." Mu'awiyah berkata, "Berapa bagian kini yang tersisa?" Ia menjawab, "Satu setengah bagian." Ia berkata, "Baiklah, aku ambil satu setengah bagian dengan harga seratus lima puluh ribu." Abdullah bin Az-Zubair berkata, "Abdullah bin Ja'far menjual bagiannya kepada Mu'awiyah dengan harga enam ratus ribu. Setelah Abdullah bin Az-Zubair menyelesaikan utang ayahnya, anak-anak Az-Zubair berkata, "Bagilah hak warisan kita masing-masing!" Abdullah bin Az-Zubair berkata, "Demi Allah! Aku tidak akan membagikannya kepada kalian semua, sampai aku membuat pengumuman pada musim haji selama empat tahun, 'Siapa yang pernah memberikan utang kepada Az-Zubair, hendaklah datang ke tempat kami, kami akan melunasinya!' Demikianlah setiap tahun dia mengumumkannya pada musim haji. Setelah berlalu empat tahun, Abdullah membagikan harta warisan itu di antara mereka dan menyerahkan sepertiga wasiatnya. Az-Zubair meninggalkan empat orang istri, masing-masing memperoleh jatah satu juta dua ratus ribu. Jadi, total harta peninggalan Az-Zubair ialah lima puluh juta dua ratus ribu (dirham)." (HR. Bukhari)
يَوْمُ الْجَمَلِ (perang Jamal): perang terkenal yang terjadi di antara kaum muslimin, dua pihak yang berperang adalah Amīrul-Mu`minīn Ali bin Abi Ṭālib dan Ummul-Mu`minīn Aisyah Aṣ-Ṣiddīqah -raḍiyallāhu 'anhā-.
الغَابَةُ (al-gābah): tanah terkenal di bagian 'Awālī, Kota Madinah.
الضَّيْعَةُ (aḍ-ḍai'ah): hilang dan musnah.
1) Anjuran untuk menjaga penunaian amanah.
2) Beratnya perkara utang dan anjuran bersegera menunaikan utang sebelum mati.
3) Siapa yang mengetuk pintu langit dengan doa dan kembali kepada Allah serta menjadikan Allah sebagai penolongnya, maka Allah akan mencukupinya, karena Allah -Subḥānahu wa Ta'ālā- tidak akan menyia-nyiakan hamba yang berharap kepada-Nya.
Perang yang terjadi di antara para sahabat -raḍiyallāhu 'anhum- memiliki takwil atau alasan yang benar. Imam Ibnu Taimiyah -raḥimahullāh- menjelaskan di dalam buku Al-'Aqīdah Al-Wāṣīṭīyyah,
"Ahli Sunah menahan diri dari apa yang terjadi di antara para sahabat. Mereka mengatakan, bahwa riwayat-riwayat yang disampaikan tentang keburukan mereka sebagiannya dusta dan yang lainnya ditambah dan dikurangi serta dirubah dari alur sebenarnya. Sedangkan yang sahih, mereka memiliki uzur dalam hal itu. Antara mereka berijtihad dan benar atau berijtihad tetapi salah ... Mereka memiliki kelebihan dan keutamaan-keutamaan yang akan menghapuskan apa yang terjadi pada mereka -jika benar terjadi-, bahkan mereka akan diampuni pada kesalahan-kesalahan yang tidak diampuni bagi orang setelah mereka, karena mereka memiliki kebaikan yang akan menghapuskan kesalahan-kesalahan di mana hal itu tidak akan diberikan kepada orang setelah mereka ... Kemudian, bila benar telah terjadi dari salah seorang mereka sebuah dosa, bisa jadi dia telah bertobat darinya, atau dia telah mengerjakan kebaikan-kebaikan yang akan menghapusnya, ataupun dia diampuni dengan keutamaan sebagai orang yang pertama-tama masuk Islam atau dengan syafaat Nabi Muhammad -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- ... atau dia diuji dengan sebuah ujian dunia lalu dengan itu dia diampuni ... Lagi pula hal yang diingkari dari perbuatan sebagian mereka berjumlah sedikit sekali bila dibandingkan dengan banyaknya keutamaan dan kebaikan mereka, berupa iman kepada Allah dan Rasul-Nya, jihad di jalan Allah, hijrah, pembelaan agama, penyebaran ilmu bermanfaat, dan amal saleh. Siapa yang memperhatikan perjalanan hidup mereka dengan ilmu dan pengetahuan, serta memperhatikan keutamaan-keutamaan yang Allah anugerahkan kepada mereka, dia dapat menyimpulkan secara pasti bahwa mereka adalah sebaik-baik makhluk setelah para nabi, tidak ada yang menyamai mereka di zaman dahulu dan yang akan datang. Mereka adalah orang-orang pilihan di antara umat ini yang merupakan sebaik-baik dan semulia-mulia umat bagi Allah." Selesai secara ringkas.