1/1724- Abu Hurairah -raḍiyallāhu 'anhu- meriwayatkan dari Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bahwa beliau bersabda, "Sesungguhnya nama yang paling hina di sisi Allah -'Azza wa Jalla- adalah seseorang yang bergelar Raja Para Raja." (Muttafaq 'Alaih)
Sufyān bin 'Uyainah berkata, "Malikul-Amlāk (raja para raja) sama dengan Syāhin Syāh."
أخْنَعَ (akhna'): paling hina dan paling rendah.
1) Diharamkan memakai gelar yang merupakan hak murni bagi Allah -Ta'ālā-. Siapa yang melampaui hak syariat dan menamakan diri dengannya, maka dia adalah orang yang paling hina dan paling rendah di sisi Allah.
2) Diharamkan menyifati makhluk dengan sifat-sifat keagungan dan gelar-gelar keangkuhan yang tidak pantas kecuali bagi Allah -'Azza wa Jalla-.
Gelar-gelar lain yang juga dilarang adalah panggilan Qāḍil-Quḍāh. Yang benar ialah panggilan "Aqḍal-Quḍāh". Demikian juga gelar "Malikul-Amlāk".
Alasan syariat memperhatikan ucapan lisan adalah karena lafal merupakan wadah bagi makna, dan perkara paling utama untuk diperhatikan dan dijaga ialah menjaga perkara tauhid yang wajib diberikan kepada Allah -Ta'ālā-. Maka perkara terbesar yang seharusnya dijaga dalam kehidupan manusia adalah perkara yang dengannya hati mereka hidup dan meraih jalan kebahagiaan, yaitu menauhidkan Rabbul-'Ālamīn. Lalu, di manakah orang-orang yang menjaga tauhid dan akidah?! Merekalah generasi yang merupakan penerus Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- di tengah umat beliau. Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- sama sekali tidak meninggalkan sedikit pun pembahasan persoalan tauhid, bahkan beliau telah memberikan penegasan keras tentangnya dan memaparkannya secara berulang-ulang sampai fondasi agama Islam tampak dan jelas. Maka, mulailah pertama kali dari tauhid, wahai hamba-hamba Allah!