Para ulama berkata, "Tobat wajib dari semua dosa. Jika maksiat itu terkait hak antara hamba dengan Allah -Ta'ālā yang tidak terkait dengan hak manusia, maka tobat memiliki tiga syarat:
Pertama: meninggalkan maksiat tersebut.
Kedua: menyesal telah melakukannya.
Ketiga: bertekad tidak kembali melakukannya selamanya. Apabila salah satu dari tiga syarat ini tidak terpenuhi maka tobatnya tidak sah.
Adapun jika merupakan maksiat yang berkaitan dengan hak manusia maka syaratnya ada empat; ketiga syarat di atas dan ditambah membebaskan diri dari hak pemiliknya, yaitu bila berupa harta dan semisalnya maka dia kembalikan kepada pemiliknya, bila berupa tudahan zina dan semisalnya maka dia mempersilakan dirinya dihukum atau meminta maaf, dan bila berupa gibah dia minta dimaafkan. Tobat dari semua dosa hukumnya wajib. Bila seseorang bertobat hanya dari sebagiannya maka tobatnya sah dari dosa tersebut menurut pendapat yang benar, dan tersisa yang belum. Banyak sekali dalil-dalil dari Al-Qur`ān, Sunnnah, dan ijmak umat tentang kewajiban bertobat.
Allah -Ta'ālā- berfirman, "Bertobatlah kalian semuanya, wahai orang-orang yang beriman, agar kalian beruntung." (QS. An-Nūr: 31) Allah -Ta'ālā- juga berfirman, "Dan hendaklah kamu memohon ampunan kepada Rabb-mu dan bertobat kepada-Nya." (QS. Hūd: 3) Allah -Ta'ālā- juga berfirman, "Wahai orang-orang yang beriman, bertobatlah kepada Allah dengan tobat yang semurni-murninya." (QS. At-Taḥrīm: 8)
Tiga syarat tobat yang telah disebutkan sebelumnya mesti ditambah dengan syarat yang disebutkan penulis -raḥimahullāh-, yaitu:
Tobat tersebut dilakukan selama masa tobat diterima, dan yang demikian itu memiliki dua macam:
Pertama: dilihat dari sisi orang per orang; maka tobat harus dilakukan sebelum datang kematian.
Kedua: dilihat dari sisi keseluruhan manusia; maka Rasul -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda, "Hijrah tidak terputus hingga tobat terputus, dan tobat tidak akan terputus hingga matahari terbit dari arah terbenamnya." (HR. Ahmad) Ketika matahari terbit dari arah terbenamnya maka tobat tidak lagi berguna.
1) Kewajiban bertobat dari maksiat dan menjelaskan keutamaan serta pahalanya; yaitu Allah mencintai orang-orang yang bertobat.
2) Tobat merupakan sebab kesuksesan; hamba Allah yang mendapat taufik adalah yang berjalan menuju salah satu pintu kesuksesan.
1/13- Abu Hurairah -raḍiyallāhu 'anhu- berkata, Aku mendengar Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda, "Demi Allah, sungguh aku beristigfar dan bertobat kepada Allah dalam sehari lebih dari tujuh puluh kali." (HR. Bukhari)
2/14- Al-Agarr bin Yasār Al-Muzaniy -raḍiyallāhu 'anhu- berkata, Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda, "Wahai sekalian manusia, bertobatlah kepada Allah dan mohonlah ampunan kepada-Nya. Sesungguhnya aku bertobat kepada-Nya dalam sehari sebanyak seratus kali." (HR. Muslim)
1) Kewajiban bertobat; karena Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- telah memerintahkannya dengan sabda beliau, "Wahai sekalian manusia, bertobatlah kepada Allah" dan dahulu beliau selalu bersegera kepada tobat. Hal ini mengandung implementasi terhadap perintah Allah -Ta'ālā- dan perintah Rasul-Nya -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- serta peneladanan terhadap beliau.
2) Menjelaskan besarnya ibadah Rasul -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- kepada Allah serta pemurnian tobatnya kepada-Nya.
3) Di antara petunjuk Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bahwa beliau mengajarkan manusia dengan bahasa ucapan dan perbuatan.
4) Di antara adab dai ketika mengajak orang kepada suatu perkara agar dia menjadi orang pertama yang melaksanakannya, dan ketika ia melarang mereka dari sesuatu agar menjadi orang pertama yang meninggalkannya.
3/15- Abu Ḥamzah Anas bin Mālik Al-Anṣāriy -raḍiyallāhu 'anhu- (pembantu Rasulullah) berkata, Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda, "Sungguh Allah lebih gembira dengan tobat hamba-Nya daripada kegembiraan salah seorang kalian yang menemukan untanya setelah hilang di padang luas." (Muttafaq ‘Alaih)
Dalam riwayat Imam Muslim disebutkan: "Sungguh Allah lebih gembira dengan tobat hamba-Nya ketika ia bertobat kepada-Nya daripada kegembiraan salah seorang kalian yang mengendarai tunggangannya di padang luas, kemudian tunggangannya itu lepas meninggalakannya, padahal bekal makan dan minumnya ada di atasnya. Dia pun putus asa untuk mendapatkannya, lalu datang ke sebuah pohon dan berbaring di bawah bayangnya. Dia benar-benar putus asa untuk mendapatkan kembali tunggangannya. Ketika ia dalam keadaan demikian itu, tiba-tiba ia mendapatkan tunggangannya berdiri di sisinya. Dia pun mengambil tali kekangnya, kemudian berujar karena kegirangan, 'Ya Allah, Engkau adalah hambaku dan aku adalah tuhan-Mu.' Dia keliru karena teramat gembira."
فَلَاة (falāh): padang yang luas dan tidak berair
الخِطَام (al-khiṭām): tali yang digunakan untuk mengendalikan unta
1) Anjuran kepada tobat; karena Allah menyukai dan meridainya pada hamba-Nya.
2) Kecintaan Allah -Ta'ālā- kepada tobat hamba-Nya termasuk kebaikan bagi hamba; yaitu Allah -Subḥānahu wa Ta'ālā- cinta memberi maaf dan ampunan, dan memaafkan lebih Allah cintai daripada menyiksa. Oleh karena itu, Allah sangat gembira dengan tobat hamba-Nya.
3) Menetapkan sifat gembira bagi Allah -Subḥānahu wa Ta'ālā-; bahwa Allah -Subḥānahu wa Ta'ālā- bisa gembira dan murka, cinta dan benci, namun: "Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya, dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat." (QS. Asy-Syūrā: 11) Yaitu kegembiraan yang pantas dengan keagungan dan kemuliaan-Nya, tidak serupa dengan kegembiraan makhluk.
Seseorang tidak disiksa karena ucapan kekufurannya jika dilontarkan secara tidak sengaja atau keseleo lidah yang tidak dimaksudkan maknanya. Berbeda dengan orang yang sengaja atau yang mengolok-olok dengan mengucapkan ucapan kufur. Ini merupakan bagian dari kasih sayang Allah -Subḥānahu wa Ta'ālā- kepada hamba-hamba-Nya. Seperti halnya laki-laki yang mengatakan, "Ya Allah, Engkau adalah hambaku dan aku adalah tuhan-Mu."
4/16- Abu Musa Abdullah bin Qais Al-Asy'ariy -raḍiyallāhu 'anhu- meriwayatkan dari Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bahwa beliau bersabda, "Sesungguhnya Allah -Ta'ālā- membentangkan Tangan-Nya pada waktu malam agar bertobat orang yang berbuat kesalahan di waktu siang, dan Allah membentangkan Tangan-Nya di waktu siang agar bertobat orang yang berbuat kesalahan di waktu malam hingga matahari terbit dari arah terbenamnya." (HR. Muslim)
1) Allah menerima tobat hamba sekalipun terlambat; dan ini bagian dari rahmat Allah -Ta'ālā- kepada hamba-Nya yang berbuat dosa.
2) Kecintaan Allah -Ta'ālā- kepada amalan tobat; oleh karena itu Allah menerimanya dari hamba dan membentangkan Tangan-Nya untuk itu.
3) Menyegerakan tobat termasuk sebab adanya rida Allah kepada hamba-Nya.
5/17- Abu Hurairah -raḍiyallāhu 'anhu- berkata, Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda, "Siapa yang bertobat sebelum matahari terbit dari arah terbenamnya, Allah pasti menerima tobatnya." (HR. Muslim)
1) Di antara syarat tobat adalah ia dilakukan pada waktunya yang disyariatkan secara umum; berdasarkan hadis: "Tobat tidak terputus hingga matahari terbit dari arah terbenamnya." (HR. Ahmad)
2) Matahari terbit dari arah barat termasuk tanda kiamat yang besar; setelahnya keimanan tak lagi berguna bagi seseorang yang belum beriman dari sebelumnya atau tidak mendapat kebaikan dalam imannya.
3) Keimanan yang berguna adalah iman yang berasal dari kemauan; adapun iman yang lahir setelah datang tanda-tanda azab maka tidak lagi berguna; karena merupakan keimanan yang terpaksa. Sebagaimana ucapan Firaun yang dikisahkan Allah -Ta'ālā-, “Aku beriman bahwa tidak ada tuhan (yang benar) melainkan Tuhan yang dipercayai oleh Bani Israil, dan aku termasuk orang-orang muslim (berserah diri).” (QS. Yūnus: 90)
6/18- Abu Abdirrahman Abdullah bin Umar bin Al-Khaṭṭāb -raḍiyallāhu 'anhumā- meriwayatkan dari Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bahwa beliau bersabda, "Sesungguhnya Allah -Ta'ālā- masih menerima tobat seorang hamba selama nyawanya belum sampai di tenggorokan." (HR. Tirmizi dan dia berkata, "Hadisnya hasan")
يُغَرْغِرْ (yugargir): nyawanya sampai ke tenggorokan
1) Waktu sekarat adalah saat di mana tobat tak lagi berguna. Oleh karena itu, tobat harus dilakukan pada waktunya yang disyariatkan secara khusus pada hamba sebelum tiba kematian.
2) Keimanan yang terpaksa ketika kematian telah datang tidak berguna bagi hamba; karena ia telah menyaksikan kematian di hadapannya. Maka, orang yang beriman harus berupaya memaksimalkan hidupnya sebelum kematian menyapanya tiba-tiba.
7/19- Zirr bin Ḥubaisy berkata, "Aku datang kepada Ṣafwān bin 'Assāl -raḍiyallāhu 'anhu- menanyakan tentang mengusap khuff (terompah); dia berkata, 'Apa yang membuatmu datang, wahai Zirr?', Aku menjawab, 'Karena hendak menimba ilmu.' Maka dia berkata, "Sungguh para malaikat meletakkan sayapnya untuk penuntut ilmu karena rida kepada apa yang dia timba." Aku berkata, "Sungguh, telah terjadi keraguan dalam hatiku untuk mengusap khuff (terompah) sehabis buang air besar atau kecil, sedangkan engkau termasuk salah seorang sahabat Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-. Maka aku datang untuk bertanya, apakah engkau pernah mendengar beliau -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- menerangkan sesuatu tentang hal itu?" Ṣafwān menjawab, "Ya. Beliau memerintahkan jika kami sedang melakukan safar, agar kami tidak melepaskan sepatu selama tiga hari tiga malam, kecuali karena junub. Adapun kalau karena buang air besar, buang air kecil, dan tidur; maka tidak perlu dilepas." Aku berkata lagi, "Apakah engkau pernah mendengar beliau -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- menyebutkan sesuatu tentang persoalan cinta?" Dia menjawab, "Ya, pernah. Yaitu kami sedang bersama Rasulullah dalam sebuah perjalanan. Ketika kami sedang bersama beliau, tiba-tiba ada seorang arab badui memanggil dengan suara yang keras sekali, "Wahai Muhammad!" Maka Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- menjawabnya dengan suara yang sama, “Kemarilah!” Lalu aku berkata kepada orang tersebut, "Celaka engkau! Rendahkanlah suaramu, sebab engkau sedang berada di hadapan Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- dan engkau dilarang seperti itu." Orang itu berkata, "Demi Allah, aku tidak akan memelankan suara." Laki-laki badui itu lalu berkata kepada Rasulullah, "(Bagaimana bila) seseorang mencintai suatu kaum tetapi ia belum bisa menyamai amalan mereka?" Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-, "Seseorang akan bersama orang yang dia cintai pada hari Kiamat." Ṣafwān terus menceritakan kepada kami, hingga dia menyebutkan hadis tentang sebuah pintu di arah tempat terbenam matahari, luas lebarnya atau pengendara akan melewati lebarnya selama empat puluh atau tujuh puluh tahun. Sufyān -salah satu perawi dalam sanad itu- berkata, "Yaitu di arah Syam. Allah -Ta'ālā- menciptakannya ketika menciptakan langit dan bumi dalam keadaan terbuka untuk menerima tobat, tidak akan ditutup hingga matahari terbit dari tempat itu." (HR. Tirmidzi dan lainnya. Tirmidzi berkata, "Hadisnya hasan sahih")
هَاؤُمُ (hā`um): ambillah/kemarilah; yakni jawaban kepada orang yang memanggil.
1) Keutamaan ilmu dan menimba ilmu; ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang ada dalam Al-Qur`ān dan Sunnah Nabi; menimbanya termasuk jihad fi sabilillah.
2) "Para malaikat meletakkan sayapnya untuk penuntut ilmu karena rida kepada apa yang mereka cari"; hadis ini kita imani sesuai makna lahirnya, karena bila ada berita yang benar berita dari Rasul -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- maka kita mesti terima sepenuhnya; kita imani dan benarkan tanpa ragu dan sangsi. Apalagi biasanya hadis-hadis dan kebenaran datang berseberangan dengan logika dan hawa nafsu kita.
3) Mengusap khuff (terompah) merupakan bagian dari syiar Ahli Sunnah, dan ini telah disebutkan dalam hadis yang mutawatir dari Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-.
4) Orang beriman bila mencintai suatu kaum dari kalangan orang-orang beriman maka ia akan bersama mereka, sekalipun amalnya kurang.
5) Motivasi terhadap wasiat mulia, yaitu "seseorang akan bersama yang dia cintai". Maka wajib mencintai orang berilmu dan beriman serta membenci orang-orang kafir dan zalim.
6) Di antara keberkahan negeri Syam adalah bahwa pintu tobat diciptakan oleh Allah -Ta'ālā- di arah Syam.
8/20- Abu Sa'īd Sa'ad bin Mālik bin Sinān Al-Khudriy -raḍiyallāhu 'anhu- meriwayatkan dari Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bahwa beliau bersabda, "Dahulu, pada umat sebelum kalian ada seorang laki-laki yang membunuh sembilan puluh sembilan orang. Kemudian ia bertanya tentang orang paling alim di negeri itu, maka ia ditunjukkan kepada seorang pendeta. Dia pun mendatanginya dan menerangkan bahwa sesungguhnya ia telah membunuh sembilan puluh sembilan orang; apakah ia masih berkesempatan untuk bertobat? Pendeta itu menjawab, "Tidak bisa." Maka ia membunuh pendeta itu. Dengan demikian genaplah seratus. Lantas ia bertanya lagi tentang orang yang paling alim di negeri itu, maka ia ditunjukkan kepada seorang yang alim. Maka ia terangkan bahwa sebenarnya ia telah membunuh seratus orang; apakah ia masih berkesempatan untuk bertobat? Orang alim itu menjawab, "Ya, masih bisa. Tidak ada yang menghalangimu dari tobat. Pergilah ke suatu negeri, di sana terdapat orang-orang yang beribadah kepada Allah. Beribadahlah kepada Allah bersama mereka. Dan janganlah engkau kembali ke negerimu, sebab negerimu adalah negeri yang buruk." Ia pun bergegas pergi. Sehingga ketika ia telah melewati setengah perjalanan, ajal datang menjemputnya. Terjadilah perselisihan antara malaikat rahmat dan malaikat azab mengenai orang tersebut. Malaikat rahmat berkata, "Orang ini datang bertobat dan menghadap kepada Allah -Ta'ālā- dengan hatinya." Malaikat azab berkata, "Orang ini sama sekali belum melakukan satu kebaikan." Lalu seorang malaikat dalam wujud manusia mendatangi mereka, lalu mereka sepakat menjadikannya sebagai penengah. Malaikat (berwujud manusia) itu berkata, "Ukurlah jarak antara kedua negeri itu. Ke mana ia lebih dekat, maka ia dihukumi kepadanya." Mereka pun melakukan pengukuran. Ternyata mereka mendapatkannya lebih dekat kepada negeri yang dituju. Maka ia pun diambil oleh malaikat rahmat." (Muttafaq 'Alaih)
Pada riwayat lain dalam Aṣ-Ṣāḥīḥ disebutkan: "Ternyata dia lebih dekat satu jengkal kepada negeri yang baik, maka dia dimasukkan ke dalam penghuni negeri tersebut." Pada riwayat lain lagi dalam Aṣ-Ṣāḥīḥ disebutkan: "Maka Allah -Ta'ālā- memerintahkan kepada negeri yang ini (negeri asalnya) agar menjauh, dan kepada negeri yang satu lagi (negeri tujuannya) agar mendekat. Lalu Allah berfirman (kepada para malaikat), "Hitunglah jarak antara keduanya." Maka mereka mendapatkannya lebih dekat satu jengkal ke negeri tujuannya, maka dia pun diampuni." Dan dalam riwayat lain disebutkan: "Maka ternyata dadanya lebih condong ke arah sana (negeri tujuannya)."
1) Keutamaan ilmu dan orang-orang berilmu. Orang berilmu akan membimbing manusia dan tidak membuat mereka putus asa dari rahmat Allah -Ta'ālā-, berbeda dengan ahli ibadah semata yang tidak memiliki ilmu.
2) Pengaruh lingkungan kepada seseorang dalam hal kebaikan dan kerusakan; negeri ketaatan akan mendorong orang beriman kepada kebaikan, sedangkan negeri keburukan akan melemahkan orang beriman atau menghalanginya dari berbuat kebaikan.
3) Niat yang benar akan menyempurnakan amal orang beriman, sekalipun dia tidak melakukannya.
4) Luasnya rahmat Allah kepada hamba-hamba-Nya; yaitu Allah membuka pintu tobat bagi orang-orang yang melampaui batas serta menerima tobat mereka.
5) Siapa yang melakukan sebuah dosa kemudian menyesal telah melakukannya, maka penyesalannya adalah bukti kebenaran tobatnya; berdasarkan sabda Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-, "Penyesalan adalah tobat." (HR. Ahmad)
Bila pelaku pembunuhan melakukan pembunuhan maka ia terkait dengan tiga hak:
Pertama: hak Allah; kedua: orang yang dibunuh; ketiga: ahli waris orang yang dibunuh.
Adapaun hak Allah, maka Allah akan mengampuninya dengan bertobat.
Adapun hak orang yang dibunuh, maka tobat pelaku tidak berguna karena dia tidak mungkin melakukan permintaan maaf kepadanya. Hak ini akan tetap ditanggung oleh pelaku, dan Allah akan memutuskan perkaranya di antara mereka pada hari Kiamat.
Adapun hak ahli waris orang yang dibunuh; maka tobat pelaku tidak akan dianggap benar hingga ia menyerahkan diri kepada keluarga yang dibunuh; setelahnya antara mereka memaafkannya, atau mereka akan meminta kisas atau diat.
9/21- Abdullah bin Ka'ab bin Mālik (putra Ka'ab -raḍiyallāhu 'anhu- yang menjadi penuntunnya ketika buta) berkata, Aku mendengar Ka'ab bin Mālik -raḍiyallāhu 'anhu- menceritakan kisahnya ketika tidak ikut bersama Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- dalam perang Tabuk; Ka'ab bercerita, "Belum pernah sama sekali aku tidak mengikuti peperangan yang dilakukan oleh Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- selain pada perang Tabuk. Kecuali perang Badar, aku tidak mengikutinya, dan tidak ada seorang pun yang dicela karena tidak mengikutinya. Karena Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersama kaum muslimin sebenarnya keluar untuk menghadang rombongan dagang Quraisy, tetapi akhirnya Allah -Ta'ālā- mempertemukan antara mereka dan musuh tanpa ada kesepakatan perang. Sungguh, aku telah ikut berikrar bersama Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- di malam Bai'atul-Aqabah; yaitu ketika kami berjanji setia untuk Islam. Aku tidak akan mau bila itu ditukar dengan perang Badar, walaupun perang Badar lebih dikenang di tengah umat Islam daripada Bai'atul-Aqabah. Adapun kisahku ketika tidak ikut bersama Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- dalam perang Tabuk, maka sungguh, belum pernah sama sekali aku dalam keadaan lebih kuat dan lebih berkecukupan daripada ketika aku tidak ikut dalam perang itu. Demi Allah! Belum pernah aku membeli dua tunggangan kecuali ketika perang tersebut. Dan belum pernah Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- merencanakan perang melainkan beliau akan menyamarkannya dengan yang lain, kecuali ketika perang tersebut, karena Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- melakukannya ketika cuaca sangat panas, sementara beliau akan melalui perjalanan yang jauh dan tandus serta akan menyongsong musuh yang banyak. Maka beliau terangkan kepada umat Islam tentang hal itu agar mereka mempersiapkan bekal perang. Beliau mengabarkan kepada mereka tentang arah tujuan yang beliau inginkan, dan umat Islam yang bergabung bersama Rasulullah berjumlah banyak, sampai-sampai mereka tidak muat tercatat semuanya dalam buku catatan (maksudnya arsip)." Ka'ab melanjutkan, "Kecil kemungkinan orang berencana tidak ikut kecuali dia yakin hal itu tidak akan beliau ketahui selama tidak ada wahyu dari Allah yang turun menerangkannya. Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- melakukan perang tersebut ketika buah-buahan dan pepohonan sedang bagus, dan aku lebih condong kepadanya. Maka Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- dan umat Islam yang bersamanya pun melakukan persiapan. Aku segera berangkat untuk mempersiapkan diri bersama beliau, lalu aku pulang dan aku belum melakukan persiapan apa-apa. Aku bergumam, 'Aku mampu melakukannya bila mau.' Aku terus menunda padahal orang-orang terus melakukan persiapan. Ketika pagi hari Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- dan umat Islam yang bersama beliau telah siap berangkat, sementara aku belum menyelesaikan persiapan sedikit pun. Kemudian aku keluar, lalu kembali, dan aku belum menyelesaikan persiapan apa pun. Aku terus menunda hingga hingga pasukan telah berjalan cepat dan perang makin dekat. Aku berpikir untuk berangkat menyusul mereka, aduhai sekiranya aku benar melakukannya. Tetapi kemudian hal itu tidak ditakdirkan bagiku. Mulailah, bila aku keluar menemui manusia setelah keberangkatan Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- aku merasa sedih karena tidak melihat orang yang bisa kujadikan panutan, kecuali laki-laki yang diketahui sebagai munafik atau laki-laki dari kalangan orang-orang lemah yang memiliki uzur. Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- sama sekali tidak mengingatku kecuali setelah beliau sampai di Tabuk. Beliau bertanya ketika sedang duduk bersama para sahabat di Tabuk, 'Apa yang dilakukan Ka'ab bin Mālik?' Seorang laki-laki dari Bani Salimah berkata, 'Wahai Rasulullah, dia tertahan karena lebih mementingkan pakaian serta penampilannya.' Mu'āż bin Jabal -raḍiyallāhu 'anhu- menyanggahnya, 'Jelek sekali yang kamu ucapkan! Demi Allah, wahai Rasulullah, kami tidak mengetahui padanya kecuali kebaikan.' Maka Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- terdiam. Ketika dalam keadaan seperti itu, beliau melihat seorang laki-laki berpakaian putih yang digerakkan oleh fatamorgana. Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda, 'Ia adalah Abu Khaiṡamah.' Ternyata benar dia adalah Abu Khaiṡamah Al-Anṣāriy. Dialah orang yang bersedekah dengan satu ṣā' (sak) kurma ketika diolok-olok oleh orang-orang munafik." Ka'ab melanjutkan, "Ketika sampai kabar kepadaku bahwa Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- telah berangkat pulang dari Tabuk, muncul rasa sedih yang sangat berat dalam diriku. Mulailah aku berpikir untuk berbohong. Aku berpikir, dengan alasan apakah aku bisa keluar dari murka beliau besok? Aku meminta saran untuk hal itu kepada orang-orang yang kuanggap bisa dari semua keluargaku. Ketika diberitakan Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- benar-benar telah datang, kebatilan tersebut lenyap dariku. Hingga ketika aku benar-benar yakin bahwa tidak akan bisa selamat dengan alasan apa pun selamanya, maka aku bertekad untuk jujur kepada beliau. Tibalah Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-, dan kebiasaan beliau bila pulang dari perjalanan diawali dengan pergi ke masjid lalu salat dua rakaat kemudian duduk menyambut orang-orang. Ketika beliau melakukan itu, orang-orang yang tidak ikut sambil datang menemui beliau menerangkan uzurnya dan bersumpah untuk itu. Jumlah mereka delapan puluh sekian orang. Maka beliau menerima uzur mereka sesuai lahirnya serta memohonkan ampunan untuk mereka dan menyerahkan urusan batin mereka kepada Allah -Ta'ālā-. Hingga aku pun datang menghadap. Ketika aku mengucapkan salam, beliau tersenyum dengan senyum orang yang marah. Kemudian beliau berkata, 'Kemarilah.' Maka aku datang dengan berjalan hingga duduk di hadapan beliau; beliau bertanya, 'Apa yang membuatmu tidak ikut serta? Bukannya kamu sudah membeli kendaraan?'" Ka'ab berkata, Aku menjawab, "Ya Rasulullah! Demi Allah, sekiranya aku duduk di hadapan manusia selainmu, aku yakin akan bisa bebas dari murkanya dengan sebuah alasan. Aku telah diberi kelihaian bicara, akan tetapi, demi Allah, aku yakin, bila hari ini aku bisa berbicara dusta kepadamu yang akan membuatmu rida kepadaku, sungguh Allah akan segera menjadikanmu murka kepadaku. Tetapi bila aku berbicara jujur kepadamu maka engkau pasti akan marah kepadaku, namun sungguh aku benar-benar mengharapkan kesudahan yang baik dari Allah -'Azza wa Jalla-. Demi Allah, aku tidak memiliki uzur. Demi Allah, belum pernah aku sekuat dan berkecukupan seperti ketika aku tidak ikut bersamamu."
Ka'ab melanjutkan, "Maka Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda, 'Adapun ini, dia telah berkata jujur. Silakan pergi, hingga Allah memberi keputusan padamu.' Beberapa orang dari Bani Salimah berjalan mengikutiku; mereka mengatakan, 'Demi Allah! Belum pernah kami mengetahuimu melakukan satu kesalahan sebelum ini. Sungguh engkau tidak mampu menyampaikan uzur kepada Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- sebagaimana orang-orang lainnya yang juga tidak ikut serta! Padahal istigfar Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- untukmu akan menutupi kesalahanmu.'" Ka'ab berkata, "Demi Allah, mereka terus-menerus mencelaku hingga aku berniat kembali kepada Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- lalu mendustakan diri. Kemudian aku bertanya kepada mereka, 'Adakah orang lain yang mengalami hal ini bersamaku?' Mereka menjawab, 'Ya. Ada dua orang mengalami hal yang sama denganmu; mereka mengatakan seperti yang engkau katakan, dan dikatakan kepadanya seperti yang dikatakan kepadamu.' Aku bertanya, 'Siapakah mereka?' Mereka menjawab, 'Murārah bin Rabī'ah Al-'Umriy dan Hilāl bin Umayyah Al-Wāqifiy.'" Ka'ab melanjutkan, "Mereka menyebutkan nama dua laki-laki saleh yang telah menghadiri perang Badar; mereka berdua adalah teladan. Aku pun lanjut pergi ketika mereka menyebutkan nama dua orang itu. Rasululullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- melarang berbicara kepada kami; khusus kepada kami bertiga di antara orang-orang yang tidak ikut." Ka'ab berkata, "Maka orang-orang pun menghindari kami (atau dia mengatakan: orang-orang berubah sikap kepada kami) hingga aku merasa bumi ini telah berubah, tidak lagi seperti bumi yang kukenal. Kami dalam keadaan seperti itu selama lima puluh hari. Adapun kedua rekanku, mereka menetap di rumahnya sambil terus menerus menangis. Adapun aku, aku yang paling muda dan paling teguh di antara orang-orang tersebut. Aku tetap keluar dan hadir salat bersama kaum muslimin serta keliling di pasar, dan tidak ada seorang pun yang berbicara kepadaku. Aku juga datang kepada Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- lalu mengucapkan salam ketika beliau duduk setelah salat; dalam hati aku bergumam, 'Apakah beliau akan menggerakkan bibirnya untuk menjawab salam, ataukah tidak?' Kemudian aku salat dekat dari beliau sambil mencuri pandang untuk melihat beliau. Bila aku melakukan salat, beliau memandangku; bila aku menoleh ke beliau, beliau berpaling ke arah lain. Hingga ketika sikap tidak bersahabat para sahabat terasa lama bagiku, aku berjalan hingga memasuki pagar kebun Abu Qatādah. Dia adalah sepupuku dan orang yang paling aku cintai. Aku mengucapkan salam kepadanya, tetapi dia tidak menjawab salamku. Aku berkata, "Wahai Abu Qatādah, aku mohon kepadamu dengan menyebut nama Allah, apakah engkau mengetahuiku mencintai Allah dan Rasul-Nya -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-?" Tetapi dia diam. Aku mengulang lagi pertanyaanku, dia tetap diam. Kemudian aku mengulanginya lagi, maka dia menjawab, "Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu." Kedua mataku langsung berlinang. Aku berlalu hingga hingga keluar dari pagar. Ketika aku sedang berjalan di pasar Madinah, tiba-tiba seorang petani dari penduduk Syam yang datang menjual makanan di Madinah berkata, "Siapakah yang bisa menunjukkan kepadaku Ka'ab bin Mālik?" Orang-orang segera menunjukinya kepadaku. Dia pun mendatangiku, lalu menyodorkan sebuah surat dari Raja Gassān. Aku orang yang bisa menulis; maka aku pun membacanya. Ternyata isinya, "Amabakdu: Telah sampai kepada kami bahwa sahabatmu (Muhammad) telah menjauhimu, dan Allah tidak akan membiarkanmu tinggal di negeri yang engkau dihinakan maupun disia-siakan. Datanglah kepada kami, kami akan membahagiakanmu." Aku berkata ketika membacanya, "Ini juga ujian." Lalu aku membawanya menuju tungku lalu membakarnya. Hingga ketika telah genap empat puluh hari, sementara wahyu belum turun, tiba-tiba utusan Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- datang kepadaku, seraya mengatakan, "Sungguh, Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- telah memerintahkanmu untuk menjauhi istrimu." Aku bertanya, "Apakah aku harus menceraikannya, ataukah apa yang harus aku lakukan?" Dia menjawab, "Tidak. Tetapi, engkau menjauhinya, tidak mendekatinya." Beliau juga mengirim perintah yang sama kepada kedua rekanku. Aku berkata kepada istriku, "Pulanglah ke rumah keluargamu. Tinggallah bersama mereka hingga Allah memutuskan padaku perkara ini." Adapun istri Hilāl bin Umayyah ia datang kepada Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- dan berkata, "Ya Rasulullah! Sesungguhnya Hilāl bin Umayyah telah tua, dia miskin dan terlantar, tidak punya pembantu. Apakah engkau tidak suka bila aku melayaninya?" Beliau menjawab, "Tidak apa-apa. Tetapi dia tidak boleh mendekatimu." Dia menjawab, "Sungguh, demi Allah, dia tidak memiliki hasrat untuk apa pun. Demi Allah, dia masih menangis sejak perkara ini hingga hari ini." Sebagian keluargaku berkata, "Sekiranya engkau memintakan izin untuk istrimu kepada Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-. Beliau telah mengizinkan istri Hilāl bin Umayyah untuk tetap melayaninya." Aku menjawab, "Aku tidak akan memintakannya izin kepada Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-. Aku tidak tahu apa jawaban Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- jika aku memintakan izin untuknya sedangkan aku masih muda." Aku tetap dalam keadaan seperti itu selama sepuluh hari. Sehingga genap sudah lima puluh hari sejak beliau melarang berbicara kepada kami.
Kemudian setelah aku salat Subuh, ketika pagi hari setelah genap lima puluh hari di atas loteng rumah kami. Ketika aku sedang duduk meratapi keadaan yang Allah sebutkan tentang kami; hatiku telah sempit dan bumi yang luas pun menjadi sempit, tiba-tiba aku mendengar suara teriakan orang yang naik ke atas Gunung Sala'; dia berteriak dengan setinggi-tingginya, "Wahai Ka'ab bin Mālik, bergembiralah!" Aku langsung tersungkur sujud. Aku yakin itu adalah pertanda telah datangnya pertolongan. Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- mengumumkan kepada para sahabat ketika salat Subuh bahwa Allah -'Azza wa Jalla- telah menerima tobat kami. Maka orang-orang bergegas pergi menyampaikan kabar gembira itu kepada kami. Orang-orang pergi ke kedua rekanku memberi kabar gembira. Seorang laki-laki bersegera kepadaku dengan memacu kuda, sedangkan seorang laki-laki dari Aslam berjalan dengan cepat ke tempatku, lalu naik ke atas gunung itu. Sampainya suaranya lebih cepat daripada sampainya kuda itu. Ketika laki-laki yang kudengar suaranya datang kepadaku memberi kabar gembira, aku langsung melepas pakaianku lalu memakaikannya kepadanya lantaran kabar gembira yang disampaikannya. Demi Allah, hari itu aku tidak punya selain pakaian tersebut. Maka aku meminjam pakaian dan memakainya, lalu berangkat menuju Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-. Para sahabat berbondong-bondong menyambutku sambil memberikan ucapan selamat. Mereka berkata, "Berbahagialah dengan tobat yang Allah berikan kepadamu." Hingga aku masuk masjid sedangkan Rasulullah sedang duduk dikelilingi para sahabatnya. Ṭalḥah bin Ubaidillah -raḍiyallāhu 'anhu- berdiri sambil berlari hingga menjabat tanganku dan memberikan ucapan selamat. Demi Allah, tidak ada seorang Muhajirin selainnya yang berdiri. Dahulu Ka'ab tidak pernah melupakan hal itu pada Ṭalḥah. Ka'ab melanjutkan, "Ketika aku mengucapkan salam kepada Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-, beliau menjawab dengan wajah bercahaya karena bahagia, 'Berbahagialah dengan hari terbaik yang engkau telah lalui sejak dilahirkan oleh ibumu.' Aku bertanya, 'Apakah ini dari dirimu, wahai Rasulullah, ataukah dari sisi Allah?' Beliau menjawab, 'Bukan. Tetapi dari sisi Allah -'Azza wa Jalla.'" Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bila senang maka wajahnya akan bercahaya hingga seakan-akan potongan bulan. Kami mengetahui seperti itu pada beliau. Ketika aku duduk di hadapan beliau, aku berkata, "Wahai Rasulullah, sebagai bagian dari tobatku, aku akan melepas semua hartaku sebagai sedekah kepada Allah dan kepada Rasul-Nya." Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- menjawab, "Tahanlah sebagian hartamu. Itu lebih baik bagimu." Aku menjawab, "Aku akan pertahankan bagianku yang ada di Khaibar." Aku juga berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah -Ta'ālā- telah menyelamatkanku dengan kejujuran, maka sebagai bagian dari tobatku, aku tidak akan berbicara kecuali dengan jujur selama hidupku." Demi Allah, belum pernah aku mengetahui seorang pun dari kaum muslimin yang diuji oleh Allah karena berbicara jujur sejak aku menyampaikan itu kepada Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- yang lebih bagus daripada ujian yang diberikan kepadaku. Demi Allah, aku belum pernah sengaja berdusta satu kata pun sejak mengucapkan itu kepada Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- hingga hari ini. Sungguh, aku berharap agar Allah -Ta'ālā- menjagaku selama aku masih hidup. Maka Allah -Ta'ālā- menurunkan firman-Nya, "Sungguh, Allah telah menerima tobat Nabi, orang-orang Muhajirin dan orang-orang Ansar yang mengikuti Nabi pada masa-masa sulit", hingga ayat: "Sesungguhnya Allah Maha Pengasih, Maha Penyayang kepada mereka. Dan terhadap tiga orang yang ditinggalkan hingga ketika bumi terasa sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas..." hingga ayat: "Bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama dengan orang-orang yang jujur." (QS. At-Taubah: 117-119) Ka'ab berkata, "Demi Allah, tidaklah Allah memberiku nikmat setelah menunjukiku kepada Islam yang lebih besar dalam diriku daripada kata jujurku kepada Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- dan tidak berdusta kepada beliau sehingga aku akan binasa seperti orang-orang yang berdusta. Sungguh Allah telah berfirman tentang orang-orang yang berdusta ketika wahyu turun dengan kalimat yang paling buruk; Allah -Ta'ālā- berfirman, "Mereka akan bersumpah kepada kamu dengan nama Allah, ketika kamu kembali kepada mereka, agar kamu berpaling dari mereka. Maka berpalinglah dari mereka; karena sesungguhnya mereka itu berjiwa kotor dan tempat mereka neraka Jahanam, sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan. Mereka akan bersumpah kepadamu, agar kamu bersedia menerima mereka. Tetapi sekalipun kamu menerima mereka, Allah tidak akan rida kepada orang-orang yang fasik." (QS. At-Taubah: 95-96)
Ka'ab berkata, "Kami bertiga ditinggalkan dalam perkara orang-orang tersebut yang diterima oleh Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- ketika mereka bersumpah kepadanya. Beliau membuat janji bersama mereka dan memohonkan ampunan, sedangkan perkara kami ditinggalkan oleh Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- sampai Allah -Ta'ālā- memutuskannya. Itulah yang Allah -Ta'ālā- terangkan, "... dan terhadap tiga orang yang ditinggalkan." Bukanlah yang Allah sebutkan tentang kami ditinggalkan adalah perkara kami tidak ikut dalam perang. Tetapi maksudnya adalah beliau meninggalkan kami serta mengakhirkan urusan kami dari orang-orang yang bersumpah kepada beliau serta menyebutkan alasannya kepada beliau dan beliau menerimanya." (Muttafaq 'Alaih)
Dalam riwayat lain disebutkan: "Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- keluar dalam perang Tabuk pada hari Kamis, dan beliau senang keluar bepergian pada hari Kamis." Dalam riwayat lain: "Beliau tidak pulang dari sebuah perjalanan kecuali siang hari ketika waktu duha. Bila sampai, beliau lebih dulu ke masjid lalu melakukan salat dua rakaat, kemudian duduk di sana."
عِيْر ('īrun): unta yang bermuatan. وَرَّى (warrā): menampakkan seakan ingin yang lain.
مَفَازًا (mafāzan): kawasan yang panjang dan jauh. أُهْبَة (uhbah): bekal orang yang melakukan perjalanan.
أَصْعَرُ (aṣ'aru): lebih condong. تَفَارَطَ (tafāraṭa): lenyap dan berlalu.
مَغْمُوْصًا (magmūṣan): tertuduh.
حَبَسَهُ بُرْدَاهُ وَالنَّظَرُ فِى عِطْفيْهِ (ḥabasahu burdāhu wan-naẓaru fī 'iṭfaihi): dia tertahan karena berbangga-bangga dengan pakaiannya.
مُبَيِّضًا (mubayyiḍan): memakai pakaian putih. بَثِّيْ (baṡṡī): rasa sedihku yang mendalam.
اِبْتَعْتُ (ibta'tu): aku membeli. حَائِطٌ (ḥā`iṭ): kebun.
نَبطِىٌّ (nabaṭiy): petani. فَطَفِقَ (faṭafiqa): bersegera.
فَسَجَرْتُهَا (fasajartuhā): aku membakarnya dengan api. اسْتَلبَثَ (istalbaṡa): terlambat.
سَلْع (sal'un): nama sebuah bukit di Madinah. أَتَامَّمُ (ata`ammamu): menuju.
أَنْخَلِعُ (ankhali'u): keluar. أَرْجَأَ (arja`a): mengakhirkan.
1) Seseorang diperbolehkan menceritakan kelalaiannya dalam ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya serta akibatnya; karena di dalamnya terkandung peringatan dan nasihat serta penjelasan jalan kebaikan agar diikuti dan jalan keburukan agar dijauhi.
2) Ketika seseorang mendapatkan kesempatan berbuat taat, hendaknya dia sigap sesigap-sigapnya untuk memaksimalkannya serta segera melakukannya, karena Allah -Subḥānahu wa Ta'ālā- bisa jadi akan menyiksa orang yang dibukakan baginya pintu kebaikan lalu dia tidak memasukinya berupa tidak diberikan taufik dan kemudahan kepada kebaikan lainnya, bahkan mungkin akan disibukkan dengan perkara yang mendatangkan mudarat kepadanya.
3) Dianjurkan tidak memberi salam kepada orang yang mengadakan suatu bidah sebagai bentuk pelajaran kepadanya sesuai maslahat, dan seseorang diperbolehkan mencela rekannya dengan niat memberi pelajaran.
4) Maksiat adalah sebab rasa aneh dan asing dalam hati seorang hamba, tetapi untuk merasakan itu tergantung kepada materi kehidupan dalam hati seorang mukmin.
5) Boleh memusnahkan sesuatu yang dikhawatirkan akan mendatangkan keburukan dalam agama; maka nasihat bagi orang beriman agar mengeluarkan kemungkaran-kemungkaran yang ada di rumahnya supaya hatinya tidak lemah lalu dia jatuh ke dalamnya.
6) Hari yang terbaik dan paling afdal bagi hamba secara keseluruhan adalah hari ketika Allah menerima dan mengabulkan tobatnya.
7) Orang yang menyesal atas perbuatan dosa akan diberikan taufik dan kemudahan oleh Allah untuk bertobat.
10/22- Abu Nujaid 'Imrān bin Ḥuṣāin Al-Khuzā'iy -raḍiyallāhu 'anhumā- meriwayatkan bahwa ada seorang wanita dari Juhainah menemui Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- dalam keadaan hamil karena zina, dia berkata, "Wahai Rasulullah! Aku telah melanggar perbuatan (zina) yang memiliki hukum had, terapkanlah had itu padaku!" Lalu Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- memanggil walinya dan bersabda, "Berbuat baiklah padanya! Apabila ia telah melahirkan, bawalah dia kepadaku!" Walinya pun melakukan apa yang beliau perintahkan. Selanjutnya Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- memerintahkan agar pakaian wanita itu dilipat dan diikatkan kepadanya dengan erat lalu beliau memerintahkan (para sahabat) untuk merajamnya. Setelah itu beliau menyalatinya. Kemudian berkatalah Umar, "Wahai Rasulullah! Apakah engkau menyalatinya, padahal ia telah berzina?" Beliau menjawab, "Sungguh, ia benar-benar telah bertobat. Seandainya tobatnya itu dibagikan kepada tujuh puluh orang dari penduduk Madinah, pasti akan mencukupi mereka. Adakah engkau pernah menemukan seseorang yang lebih utama dari orang yang dengan suka rela mengorbankan jiwanya semata-mata karena Allah -'Azza wa Jalla-?!" (HR. Muslim)
أصَبْتُ حَدّاً (aṣabtu ḥaddan): aku melakukan sesuatu yang berkonsekuensi had.
شُدّت (syuddat): pakaiannya dilipat dan diikat.
1) Pelaku zina bila melakukannya sementara dia sudah menikah maka dia wajib dirajam. Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- telah menerapkan rajam, begitu juga khalifah-khalifah setelah beliau. Hukuman had ini adalah wujud rahmat Allah kepada hamba-hamba-Nya untuk membersihkan mereka dari dosa.
2) Balasan sesuai dengan jenis perbuatan; karena pelaku zina seluruh tubuhnya menikmati perbuatan haram itu, sehingga bijak bila seluruh tubuhnya mendapatkan hukuman tersebut sesuai ukuran kenikmatan yang dia rasakan.
3) Seseorang diperbolehkan melaporkan diri telah berzina untuk dibersihkan dengan hukuman had, bukan untuk mempermalukan diri dan mengumumkan kemaksiatan.
11/23- Ibnu Abbās -raḍiyallāhu 'anhumā- meriwayatkan bahwa Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda, "Seandainya manusia memiliki satu lembah emas, niscaya ia ingin punya dua. Padahal (pada akhirnya) tenggorokannya tidak akan terisi selain tanah. Dan Allah menerima tobat mereka yang bertobat." (Muttafaq ‘Alaih)
1) Tabiat manusia suka memperbanyak harta, kecuali orang yang membersihkan hatinya dan selalu mengingatkannya pertemuan dengan Allah -Ta'ālā-.
2) Tobat kepada Allah -Ta'ālā- adalah sebab untuk berhenti melakukan perbuatan haram serta adanya rida dengan rezeki yang Allah bagikan kepada hamba.
3) Dengan tobat Allah akan menghapus kesalahan sekalipun berkaitan dengan hak dalam harta dengan syarat dia mengembalikannya kepada pemiliknya.
12/24- Abu Hurairah -raḍiyallāhu 'anhu- meriwayatkan bahwa Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- pernah bersabda, "Allah -Subḥānahu wa Ta'ālā- tertawa terkait dua orang; yang satu membunuh yang lain, namun keduanya masuk surga. Yaitu orang pertama (yang terbunuh) berperang di jalan Allah hingga terbunuh (oleh si pembunuh). Selanjutnya Allah memberikan tobat kepada si pembunuh hingga ia masuk Islam kemudian mati syahid." (Muttafaq ‘Alaih)
1) Penduduk surga akan dibersihkan dari dengki dan hasad; bahkan hingga pelaku pembunuhan dan yang dibunuh keduanya masuk surga tanpa ada rasa hasad dan dengki. Inilah sebab Allah tertawa kepada dua orang ini.
2) "Islam menggugurkan dosa sebelumnya", juga "Tobat menghapus kesalahan sebelumnya"; maka hendaklah orang yang beriman berusaha kuat untuk memperbaharui tobatnya secara terus-menerus.