Allah -Ta'ālā- berfirman, "Jika mereka bertobat dan melaksanakan salat serta menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka." (QS. At-Taubah: 5)
Yang menjadi standar dalam hukum di dunia ialah pada yang tampak, yaitu lisan dan anggota tubuh. Sedangkan di akhirat pada apa yang tersembunyi dalam hati. "Pada hari itu kamu dihadapkan (kepada Rabb-mu), tidak ada sesuatu pun dari kamu yang tersembunyi (bagi Allah)." (Al-Ḥaqqah: 18)
1/390- Ibnu Umar -raḍiyallāhu 'anhumā- meriwayatkan, bahwa Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda, "Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah dan sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan salat, dan menunaikan zakat. Apabila mereka melakukan hal itu, maka mereka telah melindungi darah dan hartanya dariku kecuali dengan hak Islam. Sedangkan perhitungan amalan mereka terserah kepada Allah -Ta'ālā-." (Muttafaq ‘Alaih)
1) Perang terhadap orang-orang kafir terus berlanjut hingga mereka masuk ke dalam Islam, dan bukti mereka masuk di dalam Islam yaitu mereka melafalkan dua kalimat syahadat serta mengerjakan syarat-syarat kalimat tauhid.
2) Menerima amalan sesuai lahiriahnya dan menetapkan hukum berdasarkan padanya dalam hukum dunia.
Kata kunci untuk masuk dalam Islam ialah Lā ilāha illallāh. Kalimat ini adalah kunci pembuka Islam. Setiap kunci memiliki gigi, dan gigi kalimat lā ilāha illallāh adalah amal saleh, di mana amal saleh yang paling tinggi yaitu menunaikan kewajiban-kewajiban agama serta penyempurna iman dan meninggalkan larangan.
2/391- Abu Abdillah Ṭāriq bin Usyaim -raḍiyallāhu 'anhu- berkata, Aku mendengar Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda, "Siapa yang mengucapkan, 'Lā ilāha illallāh' dan mengingkari segala sesuatu yang disembah selain Allah, maka harta dan darahnya terjaga. Sedangkan perhitungan amalannya terserah kepada Allah." (HR. Muslim)
1) Syarat ketauhidan adalah berlepas diri dari sesembahan-sesembahan batil yang disembah selain Allah -Ta'ālā-.
2) Seorang muslim terlindungi dalam perkara darah, harta, dan kehormatannya; semua itu tidak boleh dizalimi dan tidak juga disakiti.
3) Menjalankan hukum berdasarkan keadaan lahiriah atau yang tampak, sedangkan kondisi batin maka terserah kepada Allah.
3/392- Abu Ma'bad Al-Miqdād ibn Al-Aswad -raḍiyallāhu 'anhu- berkata, Aku bertanya kepada Rasulullah ṣallallāhu 'alaihi wasallam, "Bagaimana menurutmu, jika aku bertemu seorang kafir, kemudian kami saling serang. Dia menyerang salah satu tanganku dengan pedang hingga putus, kemudian dia berlindung dariku di balik pohon dan berkata, 'Aku masuk Islam.' Apakah aku boleh membunuhnya setelah dia mengucapkan itu?" Nabi menjawab, "Jangan kau bunuh dia." Aku pun berkata, "Wahai Rasulullah! Dia telah memutus sebelah tanganku, kemudian dia mengatakan itu setelah dia memutusnya?!' Beliau bersabda, "Jangan bunuh dia! Jika engkau tetap membunuhnya, sungguh dia di posisimu sebelum engkau membunuhnya dan engkau di posisinya sebelum mengatakan perkataan yang diucapkannya." (Muttafaq 'Alaih)
Makna bahwa "dia di posisimu", yaitu terjaga darahnya dan dihukumi muslim. Sedangkan makna "engkau di posisinya", ialah halal darahnya untuk dikisas oleh ahli warisnya, bukan di posisinya dari sisi kekafiran. Wallāhu a'lam.
لاذَ مِنِّي بِشَجَرَةٍ: berlindung di balik sebuah pohon.
1) Siapa yang masuk Islam dengan mengucapkan kalimat tauhid maka darahnya terjaga walaupun sebelumnya perbuatannya melampaui batas, kecuali bila dia dituntut dengan alasan yang hak.
2) Seharusnya hasrat dan nafsu seorang muslim mengikuti aturan agamanya, bukan mengikuti semangat fanatisme dan sikap balas dendam, karena tidak ada balas dendam dalam Islam. Jiwa tidak akan bersih dan suci hingga dia meninggalkan hawa nafsunya sebagai bentuk ketaatan kepada Tuhannya.
4/393- Usāmah bin Zaid -raḍiyallāhu 'anhumā- berkata, Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- mengirim kami ke penduduk Ḥuraqah dari kabilah Juhainah. Kami menyerang mereka pada pagi buta di pusat air mereka. Aku dan seorang laki-laki Ansar mengejar salah seorang mereka. Setelah kami berhasil mengejarnya, dia mengucapkan, "Lā ilāha illallāh". Sehingga laki-laki Ansar tersebut menahan diri tidak membunuhnya. Tetapi, aku menikamnya dengan tombakku hingga terbunuh. Setelah kami sampai di Madinah, berita tersebut sampai kepada Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-. Beliau berkata kepadaku, "Wahai Usāmah! Apakah kamu membunuhnya setelah dia mengucapkan 'Lā ilāha illallāh'?" Aku menjawab, "Wahai Rasulullah! Sebenarnya orang itu hanya ingin menyelamatkan diri." Beliau bersabda lagi, "Wahai Usāmah! Apakah kamu membunuhnya setelah dia mengucapkan 'Lā ilāha illallāh'?" Beliau terus-menerus mengulang ucapan itu kepadaku hingga aku berangan-angan andai aku belum masuk Islam sebelum hari itu." (Muttafaq ‘Alaih)
Dalam riwayat yang lain, Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda, "Apakah setelah dia mengucapkan 'Lā ilāha illallāh' kamu tetap membunuhnya?" Aku berkata, "Wahai Rasulullah! Dia mengucapkan itu semata-mata karena takut senjata." Beliau bersabda, "Mengapa kamu tidak membelah hatinya hingga kamu mengetahui apakah dia mengucapkannya karena takut senjata atau tidak?!" Beliau terus-menerus mengulang-ulang ucapannya itu hingga aku berangan-angan andai aku masuk Islam setelah hari itu.
الحُرَقَةُ (al-ḥuraqah), dengan mendamahkan "ḥā`" dan memfatahkan "rā`", adalah salah satu anak suku dari Juhainah, sebuah kabilah terkenal. Kata مُتعَوِّذاً (muta'awwiżan), artinya: melindungi diri dengannya agar tidak dibunuh, bukan karena meyakininya dapat melindungi.
غَشِينَاهُ (gasyīnāhu): kami telah dekat darinya.
متعوِّذاً (muta'awwiżan): berlindung, yaitu dia melindungi diri dengan sesuatu karena takut.
1) Wajib memperlakukan manusia di dunia menurut kondisi lahiriahnya; adapun apa yang ada dalam hatinya maka urusannya terserah kepada Allah -Ta'ālā-.
2) Pengingkaran yang keras terhadap orang yang melampaui batasan agama, walaupun dia berijtihad dan salah.
5/394- Jundub bin Abdullāh -raḍiyallāhu 'anhu- meriwayatkan bahwa Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- mengirimkan sebuah pasukan kecil dari kaum muslimin kepada suatu kaum dari kalangan musyrikin. Mereka lalu bertemu dan berhadap-hadapan. Ada seseorang di antara kaum musyrikin itu, bila ia hendak mengincar salah seorang dari kaum muslimin, ia akan berhasil mengincar dan membunuhnya. Lantas ada salah seorang dari kaum muslimin mengincar kelengahan orang itu untuk membunuhnya. Kami berbincang bahwa dia adalah Usāmah bin Zaid. Ketika dia mengangkat pedang kepadanya, seketika orang itu mengucapkan, "Lā ilāha illallāh". Namun dia tetap membunuhnya. Lantas pembawa berita gembira datang kepada Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-. Beliau bertanya dan dia bercerita. Sampai akhirnya dia menceritakan pula tentang laki-laki yang membunuh itu dan apa yang dia lakukan. Sehingga beliau memanggilnya dan bertanya. Beliau bersabda, "Mengapa engkau membunuhnya?" Dia menjawab, "Wahai Rasulullah! Orang itu telah membawa petaka bagi kaum muslimin. Dia telah membunuh si polan dan si polan." Dia menyebutkan nama beberapa orang. Dia melanjutkan, "Sungguh aku telah berjuang untuk membunuhnya. Tetapi setelah dia melihat pedangku, dia mengucapkan, 'Lā ilāha illallāh'." Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda, "Apakah engkau membunuhnya?!" Dia menjawab, "Ya." Beliau bersabda, "Lalu apa yang akan engkau lakukan terhadap 'Lā lāha illallāh' ketika kalimat itu datang pada hari Kiamat?!" Dia berkata, "Wahai Rasulullah! Mohonkanlah ampunan untukku." Beliau kembali bersabda, "Lalu apa yang akan engkau lakukan terhadap 'Lā lāha illallāh' ketika kalimat itu datang pada hari Kiamat?!" Beliau tidak menjawab lebih selain berkata, "Lalu apa yang akan engkau lakukan terhadap 'Lā lāha illallāh' ketika kalimat itu datang pada hari Kiamat?!" (HR. Muslim)
أوجع في المسلمين: menimpakan petaka terhadap kaum muslimin dan menyakiti mereka.
1) Membela diri harus atas dasar cemburu terhadap agama Allah -Ta'ālā-, sehingga dia hanya akan membunuh orang yang diyakini kekafirannya. Adapun orang yang tidak kita ketahui hakikat kekafirannya, maka urusannya diserahkan kepada Allah -Ta'ālā-.
2) Keagungan kalimat tauhid ketika dia datang pada hari Kiamat. Sehingga orang yang berbahagia adalah yang diberikan taufik untuk merealisasikan tauhid.
6/395- Abdullah bin 'Utbah bin Mas'ūd berkata, Aku pernah mendengar Umar bin Al-Khaṭṭāb -raḍiyallāhu 'anhu- mengatakan, "Sesungguhnya sebagian orang pada zaman Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- diberi hukuman sesuai dengan petunjuk wahyu. Sementara wahyu kini sudah terputus. Sehingga kami memberi putusan pada kalian hanya berdasarkan perbuatan kalian yang tampak bagi kami. Siapa yang menampakkan kepada kami perbuatan baik, maka kami anggap ia orang yang amanah serta kami muliakan, sedangkan urusan dalam hatinya kami tidak mengetahuinya sedikit pun. Allahlah yang akan menghisab isi hatinya. Namun, siapa yang menampakkan kepada kami kelakuan buruk, maka kami tidak menganggapnya orang yang amanah dan tidak memercayai ucapannya, sekalipun dia mengatakan bahwa niat hatinya baik." (HR. Bukhari)
"Sesungguhnya sebagian orang dihukumi sesuai dengan petunjuk wahyu", yaitu sekelompok kaum munafikin; mereka dipermalukan oleh wahyu yang turun kepada Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-.
1) Menghukumi perkara batin termasuk perkara gaib yang tidak diketahui kecuali oleh Allah -'Azza wa Jalla-. Orang-orang yang menegakkan perintah agama harus menghukumi rakyat berdasarkan keadaan lahiriah mereka, dan Allah yang akan mengurus perkara hati mereka.
2) Hisab pada hari Kiamat berlaku terhadap yang disimpan oleh hamba dalam hati; bila hatinya baik maka hisabnya akan baik, tetapi jika hatinya buruk maka balasannya akan setimpal dengan perbuatannya.
3) Orang yang dicintai dan dimuliakan di antara orang beriman adalah yang baik perbuatannya dan menampakkan kebaikan.