Allah -Ta'ālā- berfirman, "Dan mereka mengutamakan (Muhajirin) atas diri mereka sendiri, meskipun mereka juga memerlukan." (QS. Al-Ḥasyr: 9) Allah -Ta'ālā- juga berfirman, "Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim, dan orang yang ditawan." (QS. Al-Insān: 8) Hingga akhir ayat.
Īṡār: mendahulukan orang lain atas diri sendiri.
Muwāsāh: menyamakan orang lain dengan diri sendiri. Dan īṡār lebih afdal.
Pertama: īṡār yang terlarang; yaitu mendahulukan orang lain pada perkara yang diwajibkan pada Anda, seperti mendahulukan orang lain menggunakan air ketika dibutuhkan untuk berwudu.
Kedua: īṡār yang makruh; yaitu Anda mendahulukan orang lain dalam perkara sunah, seperti Anda mendahulukan orang lain pada saf pertama dalam salat berjemaah padahal Anda lebih awal datang.
Sebagian ulama berpendapat bahwa īṡār seperti ini hukumnya terpuji karena masuk dalam keumuman saling tolong menolong dalam kebajikan dan ketakwaan. Pendapat ini lebih bagus, sebagaimana akan kita terangkan. Wallāhu a'lam.
Ketiga: īṡār yang diperbolehkan; yaitu Anda mendahulukan orang lain pada perkara duniawi yang mubah, seperti mendahulukan orang lain dalam hal makanan atas diri Anda walaupun sedang lapar.
Ini bisa menjadi īṡār yang terpuji dan diberikan pahala kepada pelakunya jika dilakukan dengan niat ikhlas karena Allah -Ta'ālā-.
1/564- Abu Hurairah -raḍiyallāhu 'anhu- berkata, Seseorang datang kepada Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- dan mengatakan, "Sungguh aku sedang kesulitan." Beliau lantas mengirim utusan ke salah seorang istri beliau, maka dia berkata, "Demi Zat yang mengutus engkau dengan membawa kebenaran, aku hanya punya air." Kemudian beliau mengutus ke istri beliau yang lain, maka dia juga menjawab seperti itu. Hingga semua istri beliau memberikan jawaban seperti itu: "Tidak ada. Demi Zat yang mengutusmu dengan membawa kebenaran, aku hanya memiliki air." Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- lalu bersabda, "Siapa yang mau menjamu orang ini di malam ini?" Seorang laki-laki dari kaum Ansar mengatakan, "Aku (yang akan menjamunya), wahai Rasulullah." Lalu dia membawa orang tersebut ke rumahnya. Dia berkata pada istrinya, "Muliakanlah tamu Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-."
Dalam riwayat lain: Dia berkata pada istrinya, "Apakah engkau punya sesuatu (makanan)?" Istrinya menjawab, "Tidak, kecuali makanan untuk anak-anakku." Dia berkata, "Sibukkan mereka dengan sesuatu. Bila mereka menginginkan makan malam, maka tidurkanlah mereka. Bila tamu kita telah masuk, padamkanlah lampu dan perlihatkan padanya bahwa kita juga makan." Mereka pun duduk dan si tamu pun makan, sementara keduanya malam itu tidur dalam keadaan perut kosong karena belum makan. Keesokan harinya, laki-laki Ansar itu datang menemui Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- maka beliau bersabda, "Sungguh Allah suka pada apa yang kalian berdua lakukan pada tamu kalian tadi malam." (Muttafaq 'Alaih)
مَجْهُودٌ (majhūd): aku ditimpa al-jahd, yaitu kemiskinan, lapar, dan kesulitan.
عَلِّليْهم بِشَيءٍ ('allilīhim bisyai`): sibukkan mereka serta buatlah mereka lalai dengan sesuatu selain makanan ini.
1) Perbuatan īṡār (mendahulukan orang lain) seorang sahabat dari kaum Ansar yang sangat luar biasa, ketika dia tidur malam bersama keluarganya tanpa makan malam karena menjamu tamu Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-. Dari peristiwa dan sikap yang luar biasa ini kita dapat mengambil teladan yang baik.
2) Boleh bagi seseorang mendahulukan tamu dan semisalnya di atas kepentingan keluarganya sendiri, tetapi ini dalam kondisi-kondisi insidental, karena yang lebih utama secara umum adalah mendahulukan kerabat, sebagaimana dalam hadis; "Mulailah dari dirimu kemudian orang yang engkau tanggung."
- Kisah dalam hadis ini merupakan sebab turunnya ayat: "Dan mereka mengutamakan (Muhajirin) atas diri mereka sendiri, meskipun mereka juga memerlukan. Dan siapa yang dijaga dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung." (QS. Al-Ḥasyr: 9)
Imam An-Nawawiy -raḥimahullāh- berkata, "Semua ulama telah sepakat (ijmak) tentang keutamaan mendahulukan orang lain dalam makanan serta perkara-perkara duniawi dan kesenangan jiwa lainnya. Adapun dalam ibadah, maka yang lebih afdal ialah tidak mendahulukan orang lain karena hak yang ada di dalamnya adalah milik Allah -Ta'ālā-." (Syarḥ Ṣaḥīḥ Muslim)
Sebagian ulama berpendapat boleh mendahulukan orang lain dalam perkara ibadah, sebagaimana akan kita sebutkan dalam pembahasan hadis no. 761.
2/565- Masih dari Abu Hurairah -raḍiyallāhu 'anhu-, dia berkata, Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda, "Makanan untuk berdua cukup untuk tiga orang, dan makanan untuk bertiga cukup untuk empat orang." (Muttafaq 'Alaih)
Dalam riwayat Muslim dari Jābir -raḍiyallāhu 'anhu-, dari Nabi Muhammad -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-, bahwa beliau bersabda, "Makanan untuk satu orang cukup untuk berdua, makanan untuk berdua cukup untuk empat orang, dan makanan untuk berempat cukup untuk delapan orang."
1) Anjuran mendahulukan orang lain dan bersikap kanaah dengan rezeki yang secukupnya.
2) Anjuran makan berjemaah; karena semakin banyak yang berkumpul maka keberkahannya semakin banyak, sebab adanya kecukupan berangkat dari keberkahan berjemaah.
3) Anjuran memberi makan dan tidak boleh meremehkan apa yang dia miliki sekalipun sedikit.
3/566- Abu Sa`īd Al-Khudriy -raḍiyallāhu 'anhu- berkata, Ketika kami dalam satu perjalanan bersama Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- tiba-tiba muncul seseorang yang mengendarai untanya, Ialu memandang ke kanan dan ke kiri. Maka Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda, "Siapa yang memiliki kendaraan lebih hendaklah memberikannya kepada orang yang tidak memiliki kendaraan. Siapa yang memiliki kelebihan bekal hendaklah memberikannya kepada orang yang tidak mempunyai bekal." Beliau lalu menyebutkan berbagai jenis harta, sehingga kami meyakini tidak seorang pun dari kami berhak memiliki kelebihan. (HR. Muslim)
فَضْلُ ظَهرٍ (faḍl ẓahrin): hewan kendaraan yang lebih dari hajatnya. فَليَعُدْ بِهِ (fal-ya'ud bihi): hendaklah dia sedekahkan.
1) Tolong menolong dalam mengerjakan kebaikan, mendermakan harta yang lebih, dan mendahulukan orang lain serta berbagi bersama mereka termasuk sifat orang beriman.
2) Respon yang sangat cepat dari para sahabat -raḍiyallāhu 'anhum- terhadap perintah Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-. Orang yang berbahagia adalah yang mengikuti jalan mereka dalam hal mengamalkan Sunnah Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- dan memenuhi perintah-perintah beliau tanpa ada interupsi dan keragu-raguan. Allah Ta'ālā berfirman, "Maka demi Tuhanmu, mereka tidak beriman sebelum mereka menjadikan engkau (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian tidak ada rasa berat dalam hati mereka terhadap putusan yang engkau berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya." (QS. An-Nisā`: 65)
4/567- Sahl bin Sa‘ad -raḍiyallāhu 'anhu- meriwayatkan bahwa seorang wanita datang menemui Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- dengan membawa sebuah kain burdah yang dipintal. Wanita itu berkata, “Aku memintalnya dengan tanganku sendiri agar engkau dapat mengenakannya.” Maka Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- menerimanya, dan memang beliau membutuhkannya. Beliau pun keluar menemui kami dan mengenakan kain itu sebagai sarungnya. Lalu seseorang berkata, “Kenakanlah untukku, betapa indahnya!” Beliau berkata, “Baiklah.” Kemudian Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- duduk di majelis, lalu pulang ke rumah untuk melipat kain itu, kemudian beliau mengirimnya kepada orang tersebut. Orang-orang berkata, “Tak pantas kau berbuat demikian! Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- mengenakannya karena membutuhkannya, lalu engkau memintanya, padahal engkau tahu beliau tidak pernah menolak orang yang meminta.” Orang itu menjawab, “Sungguh demi Allah, aku tidak memintanya karena ingin memakainya. Aku tidak memintanya melainkan agar ia menjadi kain kafanku.” Sahl berkata, “Benar, kain itu kemudian menjadi kafannya." (HR. Bukhari)
إِزَارُهُ (izāruhu): izār adalah yang dipakai di bagian bawah badan.
1) Menjelaskan sifat īṡār Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- kepada orang lain atas diri beliau, sifat kemurahan hati dan kedermawanan beliau, yaitu beliau tidak pernah menolak orang yang meminta padanya.
2) Perintah mengingkari perbuatan yang menyelisihi adab ketika terlihat.
5/568- Abū Mūsā -raḍiyallāhu 'anhu- berkata, Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda, “Sesungguhnya orang-orang Asy’ar, bila perbekalan makanan mereka habis tatkala berperang, atau makanan sanak keluarga mereka menipis di Madinah, mereka akan mengumpulkan apa yang mereka miliki pada sepotong kain, kemudian mereka membaginya di antara mereka dalam sebuah bejana secara sama rata. Mereka adalah (bagian) dariku dan aku adalah (bagian) dari mereka." (Muttafaq 'Alaih)
أَرْمَلُوا (armalū): perbekalan mereka telah habis, atau hampir habis.
1) Menampakkan keutamaan muwāsāh (empati) dan keutamaan menggabung makanan ketika dalam perjalanan lalu menjadikannya dalam satu tempat ketika jumlahnya sedikit.
2) Seseorang diperbolehkan menceritakan kebaikan kaumnya jika bertujuan memotivasi orang lain untuk mengikuti amalan baik mereka.
Sebagian ulama mengatakan,
"Makna lahiriah hadis ini menunjukkan diperbolehkannya arisan bulanan, sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian orang, dengan cara itu mereka bermaksud saling tolong-menolong di antara mereka pada kebaikan." Gambaran arisan itu adalah:
masing-masing peserta menyerahkan sejumlah uang, semua dengan jumlah yang sama, lalu salah satu peserta mengambil uang yang terkumpul. Kemudian di waktu yang akan datang, putaran akan diulang untuk kedua kalinya, lalu uang yang terkumpul diambil oleh peserta yang lain. Demikian seterusnya, sampai semua peserta telah mengambil bagian mereka secara merata dan bergilir.
Arisan seperti ini termasuk perbuatan yang diperbolehkan, dan mendatangkan pahala jika disertai dengan niat baik untuk saling tolong-menolong di antara mereka. Juga dikarenakan hal itu dapat menyelamatkan seseorang dari hutang atau mengambil pinjaman riba. Perbuatan ini mengandung maslahat dan tidak ada mafsadatnya. Wallāhu a'lam.