Terjemahan yang Berlaku English عربي
en

In the Name of Allah, the Most Compassionate, the Most Merciful

Bismillāhirraḥmānirraḥīm

en

1- Chapter on sincerity and mindfulness of intention in all words and deeds, the apparent and the hidden thereof

1- BAB IKHLAS DAN MENGHADIRKAN NIAT DI SEMUA AMALAN DAN UCAPAN BAIK YANG TAMPAK ATAUPUN TERSEMBUNYI

en

Allah Almighty says: {And they were not commanded except to worship Allah, [being] sincere to Him in religion, inclining to truth, and to establish prayer and to give Zakah. And that is the correct religion.} [Surat al-Bayyinah: 5] And He says: {It is neither their flesh nor their blood that reaches Allah, but it is your piety that reaches Him} [Surat al-Hajj: 37] And He says: {Say, “Whether you conceal what is in your hearts or reveal it, Allah knows it} [Surat Āl ‘Imrān: 29]

Allah -Ta'ālā- berfirman, "Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah dengan ikhlas menaati-Nya semata-mata karena (menjalankan) agama yang lurus, dan juga agar melaksanakan salat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang benar." (QS. Al-Bayyinah: 5) Allah -Ta'ālā- juga berfirman, "Daging (hewan kurban) dan darahnya itu sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan kamu." (QS. Al-Ḥajj: 37) Allah -Ta'ālā- juga berfirman, "Katakanlah, 'Jika kamu sembunyikan apa yang ada dalam hati kamu atau kamu nyatakan, Allah pasti mengetahuinya.'" (QS. Āli 'Imrān: 29)

en

Guidance from the verses:

Pelajaran dari Ayat:

en

1) Intention means the purpose and objective. It emanates from the heart. Its place is not the tongue (i.e. should not be verbalized) in all acts of worship; because the Prophet (may Allah’s peace and blessings be upon him), who is our example and role model, used to make ablution, pray, fast, give charity, and perform Hajj without pronouncing the intention.

1) Niat adalah keinginan, dan tempatnya di hati; niat tidak bertempat di lisan dalam semua perbuatan; karena Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- yang merupakan teladan kita semua melakukan wudu, salat, puasa, sedekah, dan haji dengan tidak pernah melafalkan niatnya.

en

3) An individual should be heedful of his intention in all acts of worship. So, he should hold the intention to perform worship, the intention to perform it solely for the sake of Allah, and the intention that he is performing it in compliance with the command from Allah. This is the most perfect state. For example, he intends to make ablution, that his ablution is for Allah, and that he makes ablution in obedience to the command of Allah.

2) Seorang hamba wajib menghadirkan niat di semua ibadah; yaitu meniatkan niat ibadah, dan meniatkannya untuk Allah, bahwa dia melakukannya dalam rangka mengimplementasikan perintah Allah -Ta'ālā-. Inilah niat yang paling sempurna. Misalnya, ketika berwudu, ia meniatkan bahwa ia berwudu karena Allah, dan dalam rangka melaksanakan perintah Allah -Ta'ālā-.

en

1/1- The Commander of the Believers Abu Hafs, ‘Umar ibn al-Khattāb ibn Nufayl ibn ‘Abdil-‘Uzza ibn Riyāh ibn ‘Abdillah ibn Qurt ibn Rizāh ibn ‘Adi ibn Ka‘b ibn Lu’ai ibn Ghālib al-Qurashi al-‘Adawi (may Allah be pleased with him) said: “I heard the Messenger of Allah (may Allah’s peace and blessings be upon him) saying: “Verily, the reward of deeds depends on the intentions, and each person will be rewarded according to what he intended. So, he whose Hijrah is for the sake of Allah and His Messenger, then his Hijrah is for the sake of Allah and His Messenger, and he whose migration is to achieve some worldly gain or to take some woman in marriage, then his migration is for that which he migrated for.” [Narrated by Al-Bukhāri and Muslim] It was narrated by the two most prominent Muhaddiths: Abu Abdullah Muhammad ibn Ismā‘īl ibn Ibrāhīm ibn al-Mughīrah ibn Bardizbah al-Ju‘fi al-Bukhāri, And Abu Al-Husayn Muslim Ibn al-Hajjāj ibn Muslim al-Qushayri al-Nīsāburi (may Allah be pleased with them) in their two books, which are the most authentic Hadīth compilations.

1/1- Amīrul-Mu`minīn Abu Ḥafṣ Umar bin Al-Khaṭṭāb bin Nufail bin Abdul-'Uzzā bin Riyāḥ bin Abdullah bin Qurṭ bin Razāḥ bin 'Adī bin Ka'ab bin Lu`ai bin Gālib Al-Qurasyiy Al-'Adawiy -raḍiyallāhu 'anhu- berkata, Aku mendengar Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda, “Sesungguhnya semua amalan itu ‎tergantung pada niatnya, dan sesungguhnya bagi setiap orang (balasan dari) apa yang ‎diniatkannya. Maka siapa yang niat hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu kepada ‎Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang hijrahnya karena dunia yang ingin dia dapatkan, atau karena ‎seorang wanita yang ingin dia nikahi, maka hijrahnya itu kepada apa yang dia tuju." (Muttafaq 'Alaih) (HR. Dua imam ahli hadis: Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al-Mugīrah bin Bardizbah Al-Ju'fiy Al-Bukhāriy, dan Abul-Ḥusain Muslim bin Al-Ḥajjāj bin Muslim Al-Qusyairiy An-Naisābūriy -semoga Allah meridai mereka berdua- dalam kedua kitab mereka yang merupakan kitab hadis yang paling sahih)

en

Words in the Hadīth:

Kosa Kata Asing:

en

Hijrah: moving from non-Muslim states to Muslim states.

اَلْهِجْرَةُ (Al-Hijrah): berpindah dari negeri kafir ke negeri Islam.

en

--

يَنْكِحُهَا (yankiḥuhā): menikahinya.

en

Guidance from the Hadīth:

Pelajaran dari Hadis:

en

1) This Hadīth is like a scale with which people weigh their inner deeds: Are they sincere to Allah or not regarding them?

1) Hadis ini menjadi tolok ukur bagi seseorang untuk mengukur semua amalnya yang bersifat batin; apakah di dalamnya dia ikhlas karena Allah -Ta'ālā- ataukah tidak?

en

2) People differ with regards to their acts of worship according to their intentions. The intentions of some people have reached the ultimate level of sincerity (to Allah) and keenness in following the Sunnah (of the Messenger of Allah) with regard to doing good and righteous deeds, while the intentions of others are below that.

2) Perbedaan manusia dalam amal perbuatan sesuai perbedaan niat mereka; sebagian orang niatnya mencapai puncak keikhlasan dan mutāba'ah (sesuai Sunnah) dalam perbuatan-perbuatan baik dan amal saleh, dan sebagian yang lain niatnya di bawah itu.

en

3) Moving from non-Muslim land to Muslim land is obligatory on those capable of doing that, as was the case with the early believers; the honorable Companions of the Prophet (may Allah’s peace and blessings be upon him) who migrated from Makkah to Madinah before Makkah became a land of Islam and belief.

3) Berpindah dari negeri kafir ke negeri Islam wajib bagi setiap orang yang mampu, sebagaimana kondisi orang-orang mukmin terdahulu dari kalangan sahabat yang mulia yang berhijrah dari Mekah ke Madinah sebelum Mekah menjadi negeri Islam dan iman.

en

Benefit:

Faedah Tambahan:

en

Hijrah includes forsaking a deed, a doer, and a place.

Hijrah berlaku pada perbuatan, pelaku (orang), dan tempat.

en

First: Hijrah of a deed; meaning that a slave of Allah refrains from all the sins prohibited by Allah and His Messenger, as in the following Hadīth: “The Muhājir (i.e. the doer of Hijrah) is the one who forsakes what Allah has forbidden.” [Narrated by Al-Bukhāri]

Pertama: hijrah perbuatan; yaitu seseorang meninggalkan berbagai macam maksiat yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya, sebagaimana dalam hadis: "Orang yang hijrah adalah yang meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah." (HR. Bukhari)

en

Second: Hijrah of the doer, like forsaking a man who sins openly and announces his sins. If deserting such a person would bring about benefit, such as prompting him to stop committing what Allah prohibited, then he is to be deserted.

Kedua: hijrah pelaku (orang); seperti berhijrah meninggalkan orang yang terang-terangan melakukan maksiat, jika meninggalkannya memiliki maslahat dan manfaat, misalnya dia akan meninggalkan larangan Allah, maka dia harus ditinggalkan.

en

Third: Hijrah of the place, by moving from a place infested with sins to another place that is free of such sins or where they are comparatively less, because the individual is affected by his environment either positively or negatively.

Ketiga: hijrah tempat; yaitu seseorang berpindah dari daerah yang terdapat banyak maksiat dan dosa ke daerah yang tidak ada maksiatnya atau ada tapi sedikit, karena seseorang biasanya terpengaruh oleh kondisi lingkungan sekitarnya, baik pengaruh baik ataupun buruk.

en

Benefit:

Faedah Tambahan:

en

What is the ruling on a Muslim traveling to disbelievers’ countries?

Apa hukumnya seorang muslim melakukan safar ke negeri orang kafir?

en

It is not permissible for a Muslim to travel to disbelievers’ states, and it is prohibited unless certain conditions are met; these conditions are:

Perjalanan seorang muslim ke negeri orang kafir tidak diperbolehkan, yaitu haram, kecuali jika terpenuhi syarat-syarat yang khusus, maka diperbolehkan; yaitu:

en

1) That the Muslim is equipped with sound knowledge to refute suspicions raised by others, for the disbelievers might put forward to him difficult issues and questions related to Islam, the Qur’an, the Prophet and so on, which he might not be able to answer.

1) Muslim tersebut memiliki ilmu agama yang kuat untuk menolak syubhat kekafiran dari dirinya; karena bisa jadi orang-orang kafir akan menyodorinya permasalahan-permasalan yang rumit dan sulit tentang perkara agama, Al-Qur`ān, Rasulullah, dan lain sebagainya, lalu dia tidak mengetahui jawabannya.

en

2) That he has a strong base of religiosity and piety to protect himself against the widespread prohibited lusts, such as drinking alcohol, committing adultery, and staying up late at night to party and the like.

2) Dia memiliki kekuatan agama dan ketakwaan yang akan melindunginya dari berbagai maksiat haram yang tersebar di sana, seperti khamar, zina, begadang yang haram, dan lain sebagainya.

en

3) That he needs to make that trip. As for traveling for tourism, it is impermissible. An example of a need is to travel to seek medical treatment, to seek knowledge that is not available in Muslim countries, or to conduct trade that would benefit him and Muslims in general.

3) Dia memang sangat butuh untuk melakukan perjalanan tersebut. Adapun sebatas pergi untuk rekreasi maka tidak diperbolehkan. Misalnya; dia melakukan safar untuk berobat dan belajar ilmu yang tidak didapatkan di negeri kaum muslimin, atau bisnis yang bermanfaat untuk dirinya dan kaum muslimin secara umum.

en

One kind of permissible or obligatory traveling is when a preacher or a scholar travels to invite people to the religion of Allah Almighty.

Di antara perjalanan yang dianjurkan ataupun wajib adalah perjalanan para dai dan ulama jika dilakukan dengan tujuan berdakwah kepada agama Allah -Ta'ālā-.

en

2/2 - The Mother of the Believers, ‘Ā’ishah (may Allah be pleased with her) reported that the Prophet (may Allah’s peace and blessings be upon him) said: “An army will invade the Ka‘bah, and when it reaches a desert, all of them will be swallowed up by the earth.” I said: “O Messenger of Allah, how will they sink into the ground while amongst them will be their markets and the people not belonging to them?” He replied: “All of them will be swallowed up by the earth then they will be resurrected and judged according to their intentions.” [Narrated by Al-Bukhāri and Muslim. This is the wording narrated by Al-Bukhāri]

2/2- Ummul-Mu`minīn Aisyah -raḍiyallāhu 'anhā- berkata, Rasulullah ṣallallāhu -'alaihi wa sallam- bersabda, “Ada satu pasukan hendak menyerang Kakbah, tatkala berada di sebuah tanah yang lapang mereka dibenamkan (seluruhnya ke dalam bumi) dari yang paling depan hingga yang paling akhir dari mereka.” Aisyah berkata, "Aku bertanya, 'Wahai Rasulullah, bagaimana mereka semua dari yang terdepan hingga yang terakhir dibenamkan sementara di antara mereka ada para pedagang biasa (yang tak bersalah) dan yang tidak termasuk dari golongan mereka?'" Beliau bersabda, "Mereka dibenamkan semuanya dari yang terdepan hingga yang terakhir, kemudian mereka dibangkitkan sesuai niatnya masing-masing." (Muttafaq 'Alaih, dan ini redaksi Bukhari)

en

Words in the Hadīth:

Kosa Kata Asing:

en

--

بَيْدَاءَ (baidā`): tanah lapang

en

Swallowed by the earth: when they disappear underneath it.

يُخْسَفُ (yukhsafu): bila dikatakan "خُسِفَتْ بِهِمُ الأَرْضُ" (khusifat bihimul-arḍ), maka artinya; mereka hilang dan terbenam ke dalam bumi.

en

Markets: refers to the people who came to buy and sell.

أَسْوَاقُهُمْ (aswāquhum): orang-orang yang datang untuk berdagang.

en

Guidance from the Hadīth:

Pelajaran dari Hadis:

en

1) Anyone partaking a role with transgressors and wrongdoers will share their punishment because it is inclusive.

1) Orang yang bergabung bersama pelaku kebatilan dan kezaliman akan disamakan dalam siksaan, karena siksaan bersifat umum.

en

2) This Hadīth agrees with and clarifies the Hadīth that says: “Deeds are judged based on the intentions behind them;” so each person will be recompensed in accordance with his intention.

2) Hadis ini menyamai sekaligus menjelaskan makna hadis: "Sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung niatnya." Yaitu setiap orang akan diberi balasan sesuai niatnya.

en

3) When punishment occurs, it strikes both the righteous and the corrupt. However, on the Day of Judgment, they will be resurrected and judged according to their respective intentions. Therefore, the believers should exchange sincere advice to follow the truth lest punishments descend upon them. Acts of obedience alleviate afflictions and punishments whereas sinning breeds misfortune and adversity.

3) Suatu azab jika terjadi akan menimpa orang saleh dan pelaku maksiat. Lalu di hari Kiamat kelak semuanya akan dibangkitkan sesuai niat mereka. Sebab itu, orang-orang beriman harus saling mengingatkan di antara mereka tentang kebaikan agar azab tidak diturunkan kepada mereka. Karena amal ketaatan adalah sebab dihilangkannya bala dan azab, sedangkan perbuatan maksiat adalah sebab diturunkannya azab dan musibah.

en

3/3 - ‘Ā’ishah (may Allah be pleased with her) reported that the Prophet (may Allah’s peace and blessings be upon him) said: “There is no Hijrah after the Conquest (of Makkah), but there is Jihad and good intention, and whenever you are called for Jihad, you should respond to the call.” [Narrated by Al-Bukhāri and Muslim]

3/3- Aisyah -raḍiyallāhu 'anhā- berkata, Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda, "Tidak ada hijrah setelah penaklukan Mekah, tetapi yang ada hanya jihad dan niat. Jika kalian diperintahkan untuk berangkat berjihad, maka penuhilah." (Muttafaq 'Alaih)

en

It means that there is no Hijrah from Makkah because it has become an abode of Islam.

Maksudnya: tidak ada lagi hijrah dari Mekah karena telah menjadi negeri Islam.

en

Words in the Hadīth:

Kosa Kata Asing:

en

--

اُسْتُنْفِرْتُمْ (ustunfirtum): kalian diminta segera berangkat; yaitu keluar untuk berjihad di jalan Allah -Ta'ālā-.

en

Guidance from the Hadīth:

Pelajaran dari Hadis:

en

1) This Hadīth bears glad tidings for the believers that Makkah will never revert to disbelief but will rather remain an abode of Islam until the Day of Judgment.

1) Adanya kabar gembira bagi orang beriman bahwa Mekah Mukarramah tidak akan kembali menjadi negeri kafir, melainkan akan tetap menjadi negeri Islam hingga terjadi kiamat.

en

2) The Muslim defends the religion of Allah and strives against the enemies of Allah so that the Word of Allah reigns supreme. He defends his homeland because it is an Islamic state, thus defending it protects Islam as well as what Muslims hold sacred.

2) Seorang muslim hendaknya selalu membela agama Allah dan berjihad melawan musuh-musuh Allah agar kalimat Allah menjadi yang tertinggi; maka dia akan membela negaranya karena merupakan negeri Islam; dia membelanya untuk menjaga Islam dan membela kehormatan kaum muslimin.

en

Benefit:

Faedah Tambahan:

en

The intended meaning of the statement of the Prophet (may Allah’s peace and blessings be upon him): “There is no Hijrah after the conquest,” is relevant to those who had not made Hijrah to him (in Madinah) before the conquest. As for Hijrah from non-Muslim countries, it is valid until the Day of Judgment, because a Muslim is expected to make Hijrah to a country where he can uphold the rites of Allah and preserve his religion. Allah Almighty said: {When the angels take the souls of those who have wronged themselves, they will say, “What was the matter with you?” They will say, “We were oppressed in the land.” They will say, “Was not Allah’s earth spacious enough for you to migrate?” They are those whose refuge will be Hell – what a terrible destination!} [Surat an-Nisā’: 97]

- Maksud dari sabda Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-, "Tidak ada hijrah setelah penaklukan Mekah" ditujukan kepada orang yang belum berhijrah ke tempat beliau -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-. Adapun hijrah dari negeri kafir maka tetap disyariatkan hingga hari kiamat, karena seorang muslim diperintahkan untuk berhijrah ke negeri yang di sana dia bisa menegakkan syiar agama Allah serta menjaga agamanya. Allah -Ta'ālā- berfirman, "Sesungguhnya orang-orang yang dicabut nyawanya oleh malaikat dalam keadaan menzalimi diri sendiri, mereka (para malaikat) bertanya, 'Bagaimana kamu ini?' Mereka menjawab, 'Kami orang-orang yang tertindas di bumi (Mekah).' Mereka (para malaikat) bertanya, 'Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?' Maka orang-orang itu tempatnya di neraka Jahanam, dan (Jahanam) itu seburuk-buruk tempat kembali." (QS. An-Nisā`: 97)

en

When does Jihad become an individual obligation?

- Kapan hukum jihad menjadi fardu ain?

en

In the following cases:

Yaitu dalam beberapa keadaan:

en

1) If the ruler mobilizes people to participate in Jihad for the sake of Allah.

1) Bila penguasa memerintahkan semua orang untuk berangkat berjihad fi sabilillah.

en

2) If the enemy lays siege to a town, Jihad becomes an individual obligation and every capable inhabitant of that town if obliged to fight because it is a fight to defend inviolable honors.

2) Bila musuh telah datang ke suatu negeri maka jihad menjadi fardu ain; setiap penduduk yang mampu wajib berperang karena perang di sini untuk membela kehormatan mereka.

en

3) If the two armies, the Muslim and the non-Muslim, come face to face, it is impermissible for anyone to flee: {O you who believe, when you confront the disbelievers in battle, do not turn your backs to them.} [Surat al-Anfāl: 15] The Prophet (may Allah’s peace and blessings be upon him) warned that: “Fleeing from the battlefield is one of the seven destructive sins.” [Narrated by Al-Bukhāri and Muslim]

3) Bila dua pasukan -pasukan kafir dan pasukan Islam- telah berhadap-hadapan maka tidak ada yang boleh mundur; "Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir yang akan menyerangmu, maka janganlah kamu membelakangi mereka (mundur)." (QS. Al-Anfāl: 15) Dan Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- telah menetapkan bahwa salah satu dari tujuh dosa yang membinasakan adalah "melarikan diri saat berkecamuknya perang." (Muttafaq 'Alaih)

en

4) If a person is vitally needed for Jihad such that only he can deliver a given task, like having knowledge about a specific weapon, then he must join Jihad.

4) Bila seseorang dibutuhkan dalam jihad dan tidak ada orang lain yang bisa melakukan tugas tersebut maka dia secara personal wajib berjihad; seperti kondisi seseorang yang dibutuhkan karena memiliki keahlian pada senjata tertentu, maka dia secara personal wajib berjihad.

en

4/4 Abu ‘Abdullah Jābir ibn ‘Abdullah al-Ansārī (may Allah be pleased with him and his father) said: We were with the Prophet (may Allah’s peace and blessings be upon him) in a battle. He said: “In Madīnah, there are men who are with you whenever you cover a distance or cross a valley but they have been detained by illness.” In another version of the Hadīth, he said: “who share the reward with you” [Narrated by Muslim]

4/4- Abu Abdillah Jabir bin Abdullah Al-Anṣāriy -raḍiyallāhu 'anhumā- berkata, Kami pernah bersama Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- dalam sebuah peperangan lalu beliau bersabda, "Sungguh di Madinah terdapat beberapa laki-laki yang tidaklah kalian menempuh suatu perjalanan atau melewati sebuah lembah melainkan mereka menyertai (pahala) kalian; mereka tertahan oleh sakit." Dalam riwayat lain: "melainkan mereka menyertai kalian dalam pahala." (HR. Muslim)

en

Al-Bukhāri narrated it from Anas (may Allah be pleased with him), who said: We returned from the battle of Tabūk with the Prophet (may Allah’s peace and blessings be upon him) and he said: “Some people have remained behind us in Madīnah but they were with us whenever we crossed a mountain path or a valley; they were held back by an excuse.”

Juga diriwayatkan oleh Bukhari dari Anas -raḍiyallāhu 'anhu-, dia berkata, Kami pulang dari perang Tabuk bersama Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- lalu beliau bersabda, "Sungguh ada sejumlah orang yang kita tinggalkan di Madinah; tidaklah kita melewati suatu jalan ataupun lembah kecuali mereka menyertai kita; mereka tertahan oleh uzur."

en

Guidance from the Hadīth:

Pelajaran dari Hadis:

en

1) Anyone who participates in Jihad for the sake of Allah shall receive a reward for the distance he traveled. This is a favor from Allah that the means are rewarded just as much as the deed itself because the means share the same rulings as their objectives.

1) Orang yang keluar berperang dan berjihad di jalan Allah mendapatkan pahala perjalanannya. Ini adalah karunia Allah karena menjadikan pahala sarana sebuah perbuatan seperti pahala perbuatan tersebut; sebab sarana memiliki hukum yang sama dengan tujuan.

en

2) If someone intends to do a good deed but was prevented by a valid excuse, he shall gain the reward of his intention.

2) Bila seseorang telah berniat melakukan amal saleh, kemudian dia terhalangi darinya, maka ditulis baginya pahala yang dia niatkan.

en

5/5- Abu Yazīd Ma‘n ibn Yazīd ibn al-Akhnas (may Allah be pleased with them; as he, his father, and his grandfather were Companions) reported: “My father Yazīd had taken some gold coins for charity and kept them with a man in the masjid (to give them to the poor) but I went and took them and went to him, so he (my father) said: ‘By Allah! I did not intend to give them to you.’ I took my case to Allah’s Messenger (may Allah’s peace and blessings be upon him) who said: ‘For you, Yazīd, is (the reward for) what you intended, and for you, Ma'n, is what you took.’” [Narrated by Al-Bukhāri]

5/5- Abu Yazīd Ma'an bin Yazīd bin Al-Akhnas (dia, ayah, dan kakeknya adalah sahabat Nabi) -raḍiyallāhu 'anhum- berkata, Ayahku, Yazid mengeluarkan sejumlah dinar untuk disedekahkan lalu menitipkannya kepada seorang laki-laki di masjid, maka aku datang dan mengambilnya lalu membawanya pulang ke ayahku; dia berkata, "Demi Allah, bukan kamu yang kuniatkan." Maka aku mengadukannya kepada Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-, lalu beliau bersabda, "Engkau mendapatkan apa yang telah engkau niatkan wahai Yazīd, sedangkan engkau mendapatkan apa yang telah engkau ambil, wahai Ma'an." (HR. Bukhari)

en

Guidance from the Hadīth:

Pelajaran dari Hadis:

en

1) Actions are recompensed according to the intentions behind them, and the individual shall receive the reward of what he intended even if the outcome was contrary to his intention.

1) Amal perbuatan tergantung niatnya; seseorang akan dituliskan baginya pahala apa yang dia niatkan, sekalipun realitasnya berbeda dari yang dia niatkan.

en

2) It is permissible to give out charity in public if there is a benefit in making the charity public.

2) Seseorang diperbolehkan bersedekah terang-terangan jika ada maslahat dalam menampakkan sedekah tersebut.

en

3) It is permissible for the father to give his child from the Zakah due on him if the child is eligible to receive Zakah, provided that the father does not intend thereby to waive the obligation upon him to provide for his child.

3) Seorang ayah boleh memberikan zakat kepada anaknya jika anak tersebut termasuk yang berhak menerima zakat, dengan catatan sang ayah tidak bertujuan menggugurkan kewajiban menafkahi anaknya dengan pemberian tersebut.

en

6/6- Abu Is'hāq Sa‘d ibn abi Waqqās Mālik ibn Uhayb ibn ‘Abd Manāf ibn Zuhrah ibn Kilāb ibn Murrah ibn Ka‘b ibn Lu’ay ibn Ghālib al-Qurashy az-Zuhry, who is one of the ten Companions promised Paradise (may Allah be pleased with them), reported: Sa‘d ibn Abi Waqqaas, may Allah be pleased with him, reported: "The Messenger of Allah (may Allah’s peace and blessings be upon him) came to visit me for an illness which became so hard to bear in the year of the Farewell Hajj. I said: 'O Messenger of Allah, you can see the severity of the illness which I am experiencing. I have property and none will inherit me except a daughter. Shall I give two thirds of my property in charity?' The Messenger of Allah (may Allah’s peace and blessings be upon him) said: 'No.' I said: 'Then shall I give one half, O Messenger of Allah?' He said: 'No.' Then I said: 'So, (shall I give) one third?' The Messenger of Allah (may Allah’s peace and blessings be upon him) said: '(Give) one third, and one third is too much. Indeed, leaving your heirs rich is better than leaving them poor and begging from people. You never spend anything seeking thereby the pleasure of Allah but that you are rewarded for it, even what you place in the mouth of your wife.' I said: 'O Messenger of Allah, will I be left here in Makkah after my companions have departed for Madinah?' The Messenger of Allah (may Allah’s peace and blessings be upon him) said: 'If you are left behind and do good deeds whereby you seek Allah's pleasure, you will be raised a degree and your status will be elevated on account of them. Perhaps you will be left behind so that some people may benefit by you and others may be harmed by you. O Allah! complete for my Companions their Hijrah (immigration to Madinah), and do not turn them back on their heels. The unfortunate one, however, is Sa‘d ibn Khawlah.' The Messenger of Allah (may Allah’s peace and blessings be upon him) felt sorry for him, as he had died at Makkah).” [Narrated by Al-Bukhāri and Muslim]

6/6- Abu Isḥāq Sa'ad bin Abi Waqqāṣ Mālik bin Uhaib bin 'Abdu Manāf bin Zuhrah bin Kilāb bin Murrah bin Ka'ab bin Lu`aiy bin Gālib Al-Qurasyiy Az-Zuhriy -raḍiyallāhu 'anhu- (salah satu dari sepuluh sahabat yang dijamin dengan surga) -raḍiyallāhu 'anhum- berkata, Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- datang menjengukku di tahun Haji Wadak karena sakit parah yang menimpaku. Aku berkata, "Wahai Rasulullah, sakitku sudah parah sebagaimana Anda lihat, sedangkan aku orang yang berharta, dan tidak ada yang akan mewarisi hartaku kecuali hanya seorang anak perempuanku. Apakah aku boleh menyedekahkan dua pertiga hartaku?" Beliau menjawab, "Tidak." Aku berkata, "Separuhnya, wahai Rasulullah?" Beliau menjawab, "Tidak." Aku berkata, "Sepertiga?" Beliau menjawab, "(Ya) sepertiga, dan sepertiga itu sudah banyak. Sesungguhnya jika engkau meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya itu lebih baik daripada engkau meninggalkan mereka dalam keadaan miskin, lalu mereka meminta-minta pada manusia. Sungguh, tidaklah engkau mengeluarkan satu nafkah karena menginginkan wajah Allah kecuali engkau diberi pahala karena itu, bahkan hingga nafkah (makanan) yang engkau suapkan ke mulut istrimu." Aku berkata, "Wahai Rasulullah, apakah aku akan ditinggal (di Mekah) setelah (kepulangan) sahabat-sahabatku (ke Madinah)?" Beliau menjawab, "Tidaklah engkau ditinggalkan (di Mekah) lalu melakukan suatu amalan karena mengingkan wajah Allah melainkan derajat dan kedudukanmu akan bertambah naik. Semoga engkau diberi usia panjang hingga orang-orang (mukmin) bisa memperoleh manfaat darimu dan yang lainnya (kafir) mendapatkan mudaratmu. Ya Allah, lanjutkanlah hijrah sahabat-sahabatku dan jangan Engkau kembalikan mereka pada kesesatan (atau negeri yang mereka tinggalkan), kecuali orang yang malang, Sa'ad bin Khaulah (yang terlanjur wafat di Mekah)." Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- menyampaikan duka untuknya karena ia meninggal di Mekah. (Muttafaq 'Alaih)

en

Words in the Hadīth:

Kosa Kata Asing:

en

--

يَتكَفَّفُونَ (yatakaffafūna): mereka mengemis dengan mengangkat kedua tangan.

en

--

عَالَةٌ ('ālah): miskin. Ini bentuk jamak dari "عَائِلٌ" ('ā`il).

en

--

أُخَلَّفُ بَعْدَ أَصْحَابِي؟ (ukhallafu ba'da aṣḥābī?): apakah aku akan pulang lebih akhir dari sahabat-sahabatku?

en

Left behind means to age.

تُخَلَّفُ (tukhallafu): dipanjangkan umurnya di dunia.

en

--

يَرْثِيْ لَهُ (yarṡī lahu): berduka atas keadaannya.

en

Guidance from the Hadīth:

Pelajaran dari Hadis:

en

1) It shows the Prophet’s good manners towards his Companions manifested in his visitations, inquiries about their affairs, and supplication for them.

1) Indahnya akhlak Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- terhadap sahabat-sahabatnya; beliau senantiasa berkunjung dan mencari tahu keadaan mereka serta mendoakan mereka.

en

2) It is permissible, even recommended, to visit the sick because of the blessings gained by both the visitor and the sick person.

2) Perintah dan anjuran menjenguk orang yang sakit karena di dalamnya terdapat petunjuk bagi yang berkunjung dan yang sakit.

en

3) It is permissible for the individual to consult scholars, because Sa‘d ibn abi Waqqās (may Allah be pleased with him) sought the advice of the Prophet (may Allah’s peace and blessings be upon him) when he wanted to spend a portion of his money. This is one of the means to establish a tight connection between laymen and scholars.

3) Dianjurkan kepada setiap orang agar bermusyawarah dengan orang yang berilmu; yaitu Sa'ad bin Abi Waqqāṣ -raḍiyallāhu 'anhu- meminta saran kepada Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- ketika berkeinginan untuk mengalokasikan sebagian hartanya. Ini termasuk cara untuk menguatkan hubungan antara masyarakat dengan ulama.

en

4) There is not a single good deed intended sincerely to please Allah except that its doer will be raised in rank and status thereby, even if it is providing for his family, wife, and himself. Therefore, the individual must have in mind the intention to draw closer to Allah in everything he spends so that he would reap the full reward.

4) Tidaklah seseorang mengerjakan suatu amalan karena menginginkan wajah Allah kecuali kemuliaan dan derajatnya akan bertambah tinggi, termasuk menafkahi keluarga dan istrinya serta kepada dirinya sendiri. Karena itu, hendaklah seorang hamba menghadirkan niat ibadah kepada Allah pada semua yang ia infakkan agar mendapatkan pahala sempurna.

en

7/7- Abu Hurayrah ‘Abdur-Rahmān ibn Sakhr (may Allah be pleased with him) reported that the Messenger of Allah (may Allah’s peace and blessings be upon him) said: “Allah does not look at your bodies or at your forms but He looks at your hearts.” [Narrated by Muslim]

7/7- Abu Hurairah Abdurrahman bin Ṣakhr -raḍiyallāhu 'anhu- berkata, Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda, "Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada tubuh (fisik) kalian, tidak pula kepada bentuk rupa kalian, tetapi Dia melihat kepada hati kalian." (HR. Muslim)

en

Guidance from the Hadīth:

Pelajaran dari Hadis:

en

1) Love and contentment is measured by good deeds and intentions because they are the criteria for Allah’s acceptance of the servant; perhaps a small deed reaps great reward because of the intention behind it and perhaps a big deed reaps little reward because of the intention behind it.

1) Standar cinta dan rida adalah pada amal saleh dan niat ikhlas; keduanya adalah tolok ukur diterimanya seorang hamba di sisi Tuhannya. Boleh jadi amal yang kecil bisa menjadi besar nilainya karena niat, dan sebaliknya amal yang banyak bisa menjadi kecil nilainya karena niat.

en

2) One of the proofs Allah supports the servant is the latter’s sincere endeavor to rectify his intention and purify his heart by good deeds.

2) Di antara indikasi adanya taufik Allah kepada hamba: dia berusaha memperbaiki niat dan menyucikan hatinya dengan amal saleh.

en

8/8- Abu Mūsa ‘Abdullah ibn Qays al-Ash‘ari (may Allah be pleased with him) reported that the Messenger of Allah (may Allah’s peace and blessings be upon him) was asked about a man who fights out of bravery, one who fights out of pride, and one who fights to show off. Which of them is in the cause of Allah? The Messenger of Allah (may Allah’s peace and blessings be upon him) said: “Whoever fights so that the Word of Allah reigns supreme is fighting in the cause of Allah.” [Narrated by Al-Bukhāri and Muslim]

8/8- Abu Musa Abdullah bin Qais Al-Asy'ariy -raḍiyallāhu 'anhu- berkata, Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- pernah ditanya tentang laki-laki yang berperang agar dikatakan berani, berperang karena fanatisme, dan berperang karena pamer; siapakah yang dianggap berperang di jalan Allah? Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- menjawab, "Siapa yang berperang agar kalimat Allah menjadi yang tertinggi, maka dialah yang berperang di jalan Allah." (Muttafaq 'Alaih)

en

Words in the Hadīth:

Kosa Kata Asing:

en

Pride: fighting out of loyalty for his family or his country.

حَمِيَّةً (ḥamiyyah): sikap fanatik kepada suku atau negerinya.

en

Guidance from the Hadīth:

Pelajaran dari Hadis:

en

1) This shows how people share different intentions when they are on the battlefield. The one with the most righteous intention is he who fights to make the Word of Allah reign supreme.

1) Menjelaskan perbedaan manusia dalam persoalan niat ketika perang; yang paling baik niatnya adalah yang berperang agar kalimat Allah menjadi yang tertinggi.

en

2) The path of Allah is one whereas the paths of the devil are many; and a truly guided individual is he whom Allah Almighty guided to His path. Allah Almighty said: {This is My straight path; follow it and do not follow other ways, lest they lead you away from His way.} [Surat al-An‘ām: 153]

2) Jalan Allah ada satu, sedangkan jalan setan ada banyak; orang yang mendapat petunjuk adalah yang diberikan taufik oleh Allah -Ta'ālā- untuk menempuh jalan-Nya, sebagaimana firman-Nya: "Bahwa inilah jalan-Ku yang lurus. Maka ikutilah. Janganlah kalian mengikuti jalan-jalan yang lain, karena akan mencerai-beraikan kalian dari jalan-Nya." (QS. Al-An'ām: 153)

en

9/9- Abu Bakrah Nufay‘ ibn al-Hārith ath-Thaqafi (may Allah be pleased with him) reported that the Prophet (may Allah’s peace and blessings be upon him) said: "If two Muslims fight each other with their swords, both the killer and the killed are doomed to Hell.” I exclaimed: “O Messenger of Allah! As for the killer, it is understood; but what about the one killed?” He replied: “He was keen on killing his companion.” [Narrated by Al-Bukhāri and Muslim]

9/9- Abu Bakrah Nufai' bin Al-Ḥāriṡ Aṡ-Ṡaqafiy -raḍiyallāhu 'anhu- meriwayatkan, bahwa Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda, "Apabila dua orang muslim berhadap-hadapan dengan pedangnya, maka yang membunuh dan yang dibunuh sama-sama berada dalam neraka." Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, ini yang membunuh (jelas masuk neraka). Lalu ada apa dengan yang dibunuh?" Beliau bersabda, "Karena dia sangat ingin membunuh saudaranya." (Muttafaq 'Alaih)

en

Guidance from the Hadīth:

Pelajaran dari Hadis:

en

1) It highlights the major principle: “Deeds are judged according to the intentions.” Since the one killed wanted to kill his foe and used the means to do so but his foe overcome him, then he is just like the one who committed the killing.

1) Mengingatkan kaidah besar "amal perbuatan tergantung niatnya"; yaitu orang ini ketika telah berniat untuk membunuh saudaranya, dan telah melakukan upaya untuk mewujudkannya, tetapi hal itu tidak terwujud karena dikalahkan oleh lawannya, maka dia sama seperti lawannya yang melakukan pembunuhan.

en

2) It highlights the difference between fighting to ward off an attacking transgressor and fighting with the intention to kill a fellow Muslim.

2) Mengingatkan perbedaan antara orang yang membunuh karena membela diri untuk menghalangi orang yang zalim, dan antara orang yang bertarung dengan niat membunuh rekannya.

en

3) It is a stern warning against killing, as it is one of the causes of admission to Hellfire.

3) Peringatan keras terhadap besarnya dosa membunuh; sebab membunuh adalah salah satu sebab masuk neraka.

en

4) It reflects the approach of the Companions (may Allah be pleased with them) in seeking knowledge. They used to ask the Messenger of Allah (may Allah’s peace and blessings be upon him) about what they found confusing and he would answer them. Notably, there is not a single ambiguous issue in the Qur’an or the Sunnah except that its clarification is already there or is presented in reply to a question.

4) Memperlihatkan cara para sahabat -raḍiyallāhu 'anhum- dalam menuntut ilmu; yaitu mereka membawa permasalahan kepada Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- lalu beliau memberikan jawabannya. Tidak ada di dalam Al-Qur`ān maupun Sunnah sesuatu yang samar kecuali ada penjelasannya sejak awal atau lewat jawaban pertanyaan seputarnya.

en

10/10 - Abu Hurayrah (may Allah be pleased with him) said: The Prophet (may Allah’s peace and blessings be upon him) said: "A man's prayer in congregation is twenty-something times more superior (in reward) to his prayer in his market (workplace). For when one perfects ablution then goes out to the mosque, seeking nothing but prayer and nothing motivating him except prayer, then for every step he takes he is raised one degree and one sin is erased for him until he enters the mosque. When he enters the mosque, he remains in prayer as long as prayer is what keeps him therein. The angels will keep invoking the blessings of Allah on you as long as you are in the place where you performed prayer, saying: 'O Allah, have mercy on him! O Allah, forgive him! O Allah, accept his repentance!' as long as you do not harm anyone therein and do not break your ablution.” [Narrated by Al-Bukhāri and Muslim; this is the wording of Muslim]

10/10- Abu Hurairah -raḍiyallāhu 'anhu- berkata, Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda, “Salat seseorang secara berjemaah lebih banyak pahalanya daripada salat sendirian di pasar atau di rumahnya, dengan selisih dua puluh sekian derajat. Hal ini karena ketika seseorang menyempurnakan wudunya kemudian pergi ke masjid karena dorongan salat; tidak ada niat lain kecuali salat, maka tidaklah ia melangkah satu langkah kecuali diangkat baginya satu derajat dan dihapuskan darinya satu dosa, sampai dia masuk masjid. Apabila ia telah masuk ke dalam masjid, ia dianggap mengerjakan salat selama ia menunggu hingga salat dilaksanakan. Para malaikat mendoakan kalian yang senantiasa duduk di tempat salatnya, mereka berdoa, 'Ya Allah, rahmatilah dia. Ya Allah, ampunilah dosa-dosanya. Ya Allah, terimalah tobatnya' selama ia tidak berbuat kejelekan (mengganggu orang lain) dan tidak berhadas di masjid.” (Muttafaq 'Alaih, dan ini redaksi Muslim)

en

"Motivating him" means making him get up and go out.

Ucapan beliau -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-: "يَنْهَزُه" (yanhazuhu) dengan memfatahkan huruf "yā`" dan "hā`", dan dengan huruf "zāy", bermakna: mengeluarkannya.

en

Words in the Hadīth:

Kosa Kata Asing:

en

Twenty-something: something means a number from three to ten.

بِضْعًا (biḍ'an), dengan mengkasrahkan huruf "bā`": nama bilangan dari tiga hingga sepuluh.

en

Guidance from the Hadīth:

Pelajaran dari Hadis:

en

1) The merit of praying in congregation at the masjid.

1) Keutamaan menghadiri salat berjemaah di masjid.

en

2) It is recommended that a man makes ablution at home to join the congregational prayer, in order to increase the reward.

2) Anjuran berwudu dari rumah ketika menghadiri salat berjemaah agar pahalanya lebih besar.

en

3) Intention is primarily considered in securing such a great reward while failing to evoke a sincere intention reduces the reward.

3) Diperhitungkannya niat untuk mendapat pahala yang besar ini; siapa yang tidak menghadirkan niat ikhlas pahalanya berkurang.

en

4) Waiting to do a good deed is in itself a good deed.

4) Seorang hamba senantiasa dalam kebaikan selama ia menunggu kebaikan tersebut.

en

Benefit:

Faedah Tambahan:

en

My dear Muslim brother, may Allah grant you success! Bear in mind that attending the congregational prayer is an individual obligation on every Muslim man who hears the Adhān (call to prayer) and does not have a valid excuse for not attending. The proofs of its obligation are many, such as the saying of Allah Almighty: {When you [O Prophet] are with them and lead them in prayer, let a group of them stand [in prayer] with you...} [Surat an-Nisā’: 102] Allah mandated the congregational prayer even when Muslims are at war and fear an enemy attack. So, it is obvious that it is obligatory at times of peace and safety with greater reason.

Wahai Saudaraku yang semoga Allah memberimu taufik! Ketahuilah, salat berjemaah hukumnya fardu ain atas setiap muslim yang mendengar azan dan ia tidak memiliki uzur. Ada banyak dalil tentang kewajibannya, di antaranya; firman Allah -Ta'ālā-, "Dan apabila engkau (Muhammad) berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu engkau hendak melaksanakan salat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (salat) besertamu." (QS. An-Nisā`: 102) Di sini Allah mewajibkan salat berjemaah ketika kondisi perang meskipun adanya rasa takut. Maka ketika dalam kondisi aman dan damai tentu Dia lebih pantas mewajibkannya.

en

In addition, there is proof in the Sunnah that the congregational prayer is obligatory upon the blind man; so, how about the one who can see?

Sedangkan di dalam Sunnah telah ada kewajiban berjemaah atas laki-laki yang buta. Maka lantas bagaimana dengan orang yang dapat melihat?!

en

11/11- Abu al-‘Abbās ‘Abdullah ibn ‘Abbās ibn Abdul-Muttalib (may Allah be pleased with him and his father) reported that the Messenger of Allah (may Allah’s peace and blessings be upon him) said in what he narrates from his Lord, Glorified and Exalted: “Verily, Allah has recorded good and bad deeds and He made them clear. Whoever intends to perform a good deed but does not do it, then Allah will record it as a complete good deed. If he intends to do it and does so, then Allah Almighty will record it as ten good deeds up to seven hundred times as much or many more. If he intends to do a bad deed and does not do it, then Allah will record for him one complete good deed. If he intends to do it and actually does it then Allah will record for him a single bad deed.” [Narrated by Al-Bukhāri and Muslim]

11/11- Abdullah bin 'Abbās bin 'Abdul-Muṭṭalib -raḍiyallāhu 'anhumā- meriwayatkan dari Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- dalam hadis yang beliau riwayatkan dari Rabb-nya -Tabāraka wa Ta'ālā-, Dia berfirman, "Sesungguhnya Allah telah mencatat kebaikan dan keburukan, kemudian telah menjelaskan yang demikian itu. Siapa yang meniatkan satu kebaikan lalu tidak bisa melakukannya, Allah menulisnya sebagai satu kebaikan sempurna di sisi-Nya. Bila ia meniatkannya lalu melakukannya, Allah menulisnya sebagai sepuluh kebaikan hingga tujuh ratus kali lipat hingga kelipatan-kelipatan yang banyak. Tetapi, bila ia meniatkan satu keburukan lalu tidak jadi melakukannya, Allah menulisnya sebagai satu kebaikan sempurna di sisi-Nya. Bila ia meniatkannya lalu melakukannya, Allah menulisnya sebagai satu keburukan. (Muttafaq 'Alaih)

en

Guidance from the Hadīth:

Pelajaran dari Hadis:

en

1) Good intention leads its holder to good things.

1) Niat yang baik akan mengantarkan pemiliknya kepada kebaikan.

en

2) Variation of reward for good deeds is based on sincerity and following of the Prophet’s guidance. The more a person is sincere to Allah, and the keener he is on following the Prophet (may Allah’s peace and blessings be upon him), the more perfect his worship will be, and consequently his reward will be bigger.

2) Perbedaan pahala kebaikan didasarkan pada kadar keikhlasan dan mutāba'ah; semakin ikhlas seorang hamba kepada Allah dan berupaya lebih meneladani Rasul -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- maka ibadahnya akan semakin sempurna dan pahalanya semakin banyak.

en

3) Whoever abstains from sin for fear of Allah will be rewarded for that, as explained in the Hadīth: “ He only abstained from it for My sake.” [Narrated by Muslim from Abu Hurayrah (may Allah be pleased with him)]

3) Siapa yang meninggalkan perbuatan maksiat karena takut kepada Allah akan diberikan pahala atas hal itu, sebagaimana diterangkan dalam hadis, "Sungguh dia meninggalkannya semata karena-Ku." (HR. Muslim dari Abu Hurairah)

en

4) One of the manifestations of Allah’s mercy is that He uses justice to recompense the sinner but uses His grace and bounty to recompense the good-doer.

4) Di antara bentuk rahmat Allah -Ta'ālā- adalah bahwa Dia memberi balasan kepada pelaku maksiat atas dasar keadilan-Nya dan kepada pelaku ketaatan atas dasar kemurahan dan kebaikan-Nya.

en

12/12 - Abu ‘Abdur-Rahmān Abdullah ibn ‘Umar ibn al-Khattāb (may Allah be pleased with him and his father) said: I heard the Messenger of Allah (may Allah’s peace and blessings be upon him) saying: “Three men from among those who were before you set out together until they reached a cave at night so they entered it. A big rock rolled down the mountain and blocked the entrance to the cave. They said to each other, ‘Nothing will save you from this rock but to call upon Allah by the most righteous of your deeds.’ So, one of them said, ‘O Allah! I had old parents and I never provided my family or workers with the evening milk before them. One day, by chance I came late (at night) when they had slept. I milked the sheep for them and took the milk to them but I found them sleeping. I disliked providing my family with the milk before them. I waited for them to wake up with the bowl of milk in my hand and my children crying (from hunger) at my feet until daybreak. Then my parents got up and drank the milk. O Allah! If I did that for Your sake only, then relieve us from the distress we are in because of this rock.’ So the rock shifted a little but not enough for them to get out. The second man said, ‘O Allah! I had a cousin who was the most beloved of all people to me (in another version: I had a cousin for whom I loved in the most passionate way a man can love a woman), and I wanted to have sexual relations with her but she refused. Later she was having a hard time in a famine year and she came to me and I gave her one-hundred-and-twenty Dinars on condition that she would not resist my sexual advances, and she agreed. When I sat between her legs, she said: “Fear Allah and do not break the seal except by its right (i.e. by legitimate marriage).” So, I turned away from her though she was the most beloved of all people to me, and I left her the gold I had given her. O Allah! If I did that for Your sake only, then relieve us from the distress we are in.’ So the rock shifted but not enough for them to get out. The third man said, ‘O Allah! I employed some labors and I paid them their wages except for one man who did not take his wages and went away. I invested his wages and much property resulted from that investment. Then after some time he came and said to me: “O servant of Allah! Pay me my wages.” I said to him: “All you can see is from your wages; the camels, cows, sheep, and slaves.” He said: “O servant of Allah, do not mock me.” I said: “I am not mocking you.” So he took them all and drove them away and left nothing thereof. O Allah! If I did that for Your sake only, then relieve us from the distress we are in.’ So the rock shifted completely and they got out walking.” [Narrated by Al-Bukhāri and Muslim]

12/12- Abu Abdirrahman Abdullah bin Umar bin Al-Khaṭṭāb -raḍiyallāhu 'anhumā- berkata, Aku mendengar Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda, "Tiga orang dari umat sebelum kalian pernah bepergian, hingga mereka harus bermalam di sebuah goa. Mereka pun masuk ke dalamnya. Tiba-tiba sebuah batu besar menggelinding dari gunung hingga menutup mereka di dalam goa itu. Mereka pun berkata, 'Sungguh, tidak ada yang dapat menyelamatkan kalian dari batu besar ini kecuali jika kalian berdoa kepada Allah dengan menyebutkan amal-amal saleh kalian.' Salah satu mereka berdoa, 'Ya Allah! Aku memiliki dua orang tua yang sudah tua; aku tidak pernah mendahulukan memberi minum keluargaku ataupun ternakku sebelum mereka. Suatu hari aku pergi jauh mencari kayu sehingga aku tidak pulang kecuali setelah mereka tidur. Maka aku membuatkan mereka minuman, dan ternyata aku menemukan mereka telah tidur. Tetapi aku tidak mau membangunkan mereka juga memberi minum keluarga ataupun ternakku sebelum mereka. Maka aku tetap diam dengan wadah di tanganku. Aku menunggu mereka bangun sampai fajar terbit. Sementara anak-anakku yang kecil berteriak menangis di kakiku. Maka keduanya bangun lalu meminum minuman mereka. Ya Allah! Bila aku melakukannya karena menginginkan rida-Mu, maka bukakanlah kami batu ini.' Maka batu tersebut terbuka sedikit; tetapi mereka belum bisa keluar darinya. Orang yang kedua berdoa, 'Ya Allah! Aku memiliki sepupu perempuan. Dia perempuan yang paling aku cintai (di sebagian riwayat: Aku teramat mencintainya seperti cinta paling besar laki-laki kepada perempuan). Kemudian aku menginginkan dirinya, tetapi dia menolakku. Hingga dia mengalami kesulitan di salah satu kemarau, dan dia pun datang kepadaku. Aku memberinya 120 dinar dengan syarat dia menyerahkan dirinya kepadaku. Dia pun menyanggupinya. Ketika aku telah leluasa melakukannya (di sebagian riwayat: ketika aku telah ada di antara dua kakinya), dia berkata, 'Takutlah kepada Allah! Janganlah kamu membuka cincin kecuali dengan cara yang benar.' Maka aku meninggalkannya sekalipun dia adalah perempuan yang paling aku cintai, dan aku biarkan emas yang kuberikan kepadanya. Ya Allah! Bila aku melakukannya karena menginginkan rida-Mu maka bukalah dari kami apa yang menimpa kami.' Maka, batu tersebut terbuka; tetapi mereka belum bisa keluar darinya. Sedangkan orang yang ketiga berdoa, 'Ya Allah! Aku menyewa para pekerja dan memberikan upah mereka. Kecuali satu orang; dia meninggalkan haknya dan menghilang. Lalu aku mengembangkan upahnya itu hingga menjadi harta yang banyak. Setelah sekian lama, dia datang dan berkata, 'Wahai hamba Allah, tunaikan upahku kepadaku.' Aku berkata, 'Semua yang kamu lihat berasal dari upahmu; unta, sapi, kambing, dan budak.' Dia berkata, Wahai hamba Allah, janganlah mengolok-olokku!' Aku berkata, 'Aku tidak sedang mengolok-olokmu.' Maka dia mengambil semuanya dan menggiringnya; ia tidak menyisakan sedikit pun. Ya Allah! Bila aku melakukannya karena menginginkan rida-Mu, maka hilangkan dari kami kesulitan yang menimpa kami.' Maka batu itu terbuka. Mereka pun keluar dengan berjalan." (Muttafaq 'Alaih)

en

Words in the Hadīth:

Kosa Kata Asing:

en

--

نَفَرٌ (nafar): sejumlah laki-laki

en

--

اَلْمَبِيْتُ (al-mabīt): tempat bermalam.

en

--

أَغْبِقُ (agbiqu: saya memberi minuman sore). Dari asal kata "اَلْغَبُوْقُ" (al-gabūq): minuman sore hari.

en

--

نأىٰ (na`ā): pergi jauh.

en

--

أَرِحْ (ariḥ): pulang

en

--

يَتَضَاغَوْنَ (yataḍāgauna): berteriak karena sangat lapar

en

--

سَنَة (sanah): kemarau

en

Do not break the seal: a warning against committing adultrey.

لَا تَفُضَّ الْخَاتَمَ (lā tafuḍḍal-khātam: jangan membuka cincin); peringatan agar tidak melakukan zina.

en

Guidance from the Hadīth:

Pelajaran dari Hadis:

en

1) Sincerity is one of the means to alleviate adversity because each one of them said: “O Allah! If I did that for Your sake only, then relieve us from the distress we are in.”

1) Keikhlasan merupakan sebab dihilangkannya kesulitan; yaitu masing-masing mereka berkata, "Ya Allah! Bila aku melakukannya karena menginginkan rida-Mu, maka bukalah dari kami kesulitan yang menimpa kami."

en

2) Good deeds are means to alleviating adversity.

2) Amal saleh merupakan sebab dihilangkannya kesulitan.

en

3) The merit of dutifulness to parents, refraining from adultery, honesty, and doing what is good for others.

3) Keutamaan berbakti kepada orang tua, menjaga diri dari zina, serta sifat amanah dan berbuat baik kepada orang lain.

en

4) Allah indeed answers the supplication and never disappoints anyone sincerely supplicating Him. So, the believer should be keen on making sincere supplication to Allah.

4) Allah mendengar doa; Allah tidak menyia-nyiakan doa orang yang berdoa dengan tulus, sehingga orang beriman harus mengikhlaskan doa kepada Allah.

en

5) One kind of the legitimate Tawassul (imploring Allah) is that a person implores Allah by the sincere good deeds that he did.

5) Di antara jenis tawasul yang disyariatkan: bertawasul kepada Allah dengan amal saleh yang dilakukan dengan ikhlas.

en

Benefit:

Faedah Tambahan:

en

The great ascetic Imam Mutarrif ibn ‘Abdullah ash-Shikhkhīr (may Allah have mercy upon him) said:

Seorang imam yang zuhud, Muṭarrif bin Abdullah Asy-Syikhkhīr -raḥimahullāh- berkata,

en

“The righteousness of the heart results from the righteousness of deeds, and the righteousness of deeds results from the righteousness of intention.”

"Hati yang baik diraih dengan amal yang baik, dan amal yang baik diraih dengan niat yang baik."

en

[Quoted by al-Hāfizh Ibn Rajab in his book Jāmi‘ al-‘Ulūm wal-Hikam]

(Dinukil oleh Al-Ḥāfiẓ Ibnu Rajab dalam buku beliau "Jāmi'ul-'Ulūm wal-Ḥikam")